Alasan Buruk dan Tidak Masuk Akal Mengenai Guru yang Keluar Masuk karena Alasan Gen Z

 


Fenomena guru yang keluar masuk dari sebuah institusi pendidikan adalah hal yang sering kali menimbulkan pertanyaan dan perhatian, baik di kalangan pendidik, orang tua, maupun pembuat kebijakan. Namun, di tengah dinamika dunia pendidikan yang terus berkembang, muncul narasi yang menyebutkan bahwa alasan utama pergantian guru adalah karena tantangan generasi Z. Pernyataan ini, yang kadang muncul dari para pemangku kebijakan seperti wakil kepala sekolah atau wakil kurikulum, perlu dikaji secara kritis. Mengapa narasi ini bisa muncul, dan apakah memang generasi Z merupakan akar permasalahan, ataukah ini hanya alasan yang tidak berdasar untuk menutupi isu-isu yang lebih kompleks?

Generasi Z adalah kelompok individu yang lahir sekitar pertengahan hingga akhir tahun 1990-an hingga awal 2010-an. Mereka adalah generasi yang tumbuh di era digital, dengan akses yang luas terhadap teknologi, informasi, dan berbagai bentuk komunikasi modern. Sering kali, mereka digambarkan sebagai generasi yang inovatif, adaptif, tetapi juga memiliki karakteristik unik yang menuntut pendekatan berbeda dalam pendidikan. Namun, karakteristik ini tidak semestinya dijadikan kambing hitam untuk menjelaskan permasalahan rotasi atau pergantian guru.

Pernyataan bahwa guru keluar masuk karena alasan generasi Z adalah bentuk simplifikasi yang mengabaikan berbagai faktor penting lainnya. Pergantian guru biasanya disebabkan oleh kombinasi dari banyak hal, mulai dari kondisi kerja, lingkungan sekolah, hingga kebijakan yang diterapkan oleh pihak manajemen. Ketika generasi Z dijadikan alasan utama, itu mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap akar masalah dan kecenderungan untuk mencari kambing hitam daripada solusi nyata.

Salah satu alasan utama yang sering diabaikan adalah kondisi kerja guru yang tidak mendukung. Guru sering kali menghadapi beban kerja yang berat, baik dari sisi administratif maupun tanggung jawab mengajar. Dalam banyak kasus, tugas-tugas administratif yang tidak relevan dengan proses pembelajaran menjadi beban tambahan yang menguras energi dan waktu. Ketika guru merasa tidak didukung oleh sistem yang ada, wajar jika mereka mencari lingkungan kerja yang lebih baik. Namun, alih-alih mengevaluasi kondisi kerja tersebut, alasan "sulit menghadapi generasi Z" justru diangkat sebagai pembenaran.

Selain itu, masalah kompensasi dan penghargaan terhadap guru juga menjadi faktor penting. Banyak guru yang merasa bahwa gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan beban kerja yang harus mereka tanggung. Hal ini terutama berlaku di sekolah-sekolah swasta atau di daerah yang anggaran pendidikannya terbatas. Ketika guru memutuskan untuk keluar, sering kali alasan ekonomi menjadi pendorong utama. Namun, sekali lagi, pihak manajemen atau wakil kurikulum cenderung mengalihkan perhatian dari isu ini dengan menyebutkan generasi Z sebagai biang keladi.

Tidak hanya itu, lingkungan kerja yang tidak kondusif juga menjadi penyebab utama rotasi guru. Lingkungan yang tidak mendukung, seperti kurangnya kolaborasi antar guru, konflik internal, atau bahkan kurangnya dukungan dari manajemen sekolah, dapat membuat guru merasa tidak nyaman untuk bertahan. Dalam situasi seperti ini, sulit untuk memahami mengapa generasi Z yang menjadi fokus, sementara masalah internal yang lebih signifikan justru diabaikan.

Penting juga untuk menyoroti bahwa generasi Z memiliki potensi besar yang dapat dimanfaatkan oleh para pendidik. Mereka adalah generasi yang cepat belajar, memiliki daya kreatif yang tinggi, dan mampu beradaptasi dengan teknologi. Tantangan yang mereka hadapi, seperti tingkat konsentrasi yang pendek atau kecenderungan untuk mempertanyakan otoritas, seharusnya dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan metode pengajaran yang lebih relevan dan inovatif. Menyalahkan mereka atas pergantian guru menunjukkan kurangnya kesiapan institusi pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman.

Selain faktor internal, kebijakan pendidikan di tingkat nasional atau regional juga dapat memengaruhi stabilitas guru di sebuah sekolah. Kebijakan yang sering berubah, kurangnya pelatihan yang relevan, atau bahkan sistem rekrutmen yang tidak transparan, semuanya dapat berkontribusi pada tingginya angka rotasi guru. Ketika wakil kurikulum menyebutkan bahwa generasi Z adalah alasan utama, hal itu justru mengalihkan perhatian dari kebutuhan untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan yang ada.

Dalam konteks ini, peran manajemen sekolah menjadi sangat penting. Wakil kurikulum, kepala sekolah, dan pemangku kebijakan lainnya harus mampu melihat gambaran yang lebih besar dan mencari solusi yang tepat untuk permasalahan rotasi guru. Menyalahkan generasi Z hanya akan menciptakan jarak antara guru dan siswa, serta mengurangi kualitas interaksi di dalam kelas.

Di sisi lain, generasi Z juga memiliki ekspektasi tertentu terhadap para pendidik mereka. Mereka cenderung menghormati guru yang otentik, adaptif, dan mampu mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran. Jika guru merasa kesulitan memenuhi ekspektasi ini, itu adalah tanda bahwa mereka membutuhkan pelatihan tambahan atau dukungan dari pihak sekolah. Menyebut generasi Z sebagai penyebab masalah hanya akan menciptakan stereotip negatif yang merugikan semua pihak.

Pada akhirnya, alasan "karena generasi Z" adalah narasi yang tidak hanya tidak berdasar tetapi juga berbahaya. Narasi ini menciptakan persepsi negatif terhadap siswa, mengabaikan tanggung jawab institusi pendidikan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi guru, dan mengalihkan perhatian dari isu-isu struktural yang lebih mendalam. Untuk menyelesaikan masalah rotasi guru, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan berbasis data, bukan sekadar mencari kambing hitam.

Pergantian guru adalah isu yang kompleks dan multidimensional. Menyederhanakannya dengan menyalahkan generasi Z hanya akan memperburuk situasi. Sebaliknya, semua pihak, termasuk manajemen sekolah, pemerintah, dan komunitas pendidikan, harus bekerja sama untuk menciptakan sistem yang mendukung guru dan siswa. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi sarana untuk membangun masa depan yang lebih baik, bukan tempat di mana tanggung jawab dilemparkan tanpa dasar.

Posting Komentar

0 Komentar