Artikel ingin bagus, tapi ada syarat lucu.



Yo semua, akhirnya bisa kembali lagi di blog tercinta saya. Beberapa hari lalu saya mendengarkan acara seminar yang menurut saya sedikit lucu. Acara seminar itu mengenai penulisan artikel. Biasanya, untuk membuat artikel yang bagus, tentu saja ada sarana dan prasarana yang menopang. Visi dan misi harus dilandaskan pada sarana dan prasarana tentunya.

Saat ini saya sedang kuliah di Universitas Negeri Jakarta. Kenapa kok nggak saya sensor? Jelas, ini kritikan yang memang sudah alami dan memuncak dari kekesalan saya. Apakah bisa dipertanggungjawabkan? Tentu saja iya. Saya mempunyai beberapa rekaman video dan dokumentasi percakapan setiap mata kuliah maupun seminar sebagai bukti dari apa yang saya sampaikan lewat tulisan ini.

Persyaratan untuk lulus S2 tentu saja termasuk penulisan artikel. Tapi, pernahkah kita berpikir apakah uang kuliah tunggal (UKT) yang kita bayarkan—misalnya sebesar 10 juta rupiah—sudah cukup untuk mendukung akses kita terhadap sumber daya akademik yang memadai? Apakah kita mendapatkan satu akun Turnitin? Apakah kita punya akses ke jurnal-jurnal internasional seperti Springer, JSTOR, Elsevier, dan lainnya yang memiliki indeks Scopus? Dua pertanyaan ini adalah pangkal permasalahan yang saya angkat dalam tulisan ini terkait dengan kualitas penulisan akademik mahasiswa S2.

Ketika referensi yang dibutuhkan harus berasal dari artikel-artikel yang terindeks Scopus, tentu saja pihak kampus dan program studi tidak bisa lepas tangan dalam hal penyediaan sarana dan prasarana. Tugas akademik hanya bisa dilaksanakan jika sarana telah siap. Visi dan misi akademik bisa diwujudkan jika didukung oleh fasilitas yang memadai. Diskusi ini selalu kembali ke permasalahan sarana dan prasarana yang ada. Misalnya, mahasiswa tidak bisa mengecek satu bab dari skripsi atau tesisnya dengan Turnitin setiap selesai bimbingan karena aksesnya terbatas.

Perbendaharaan kata dalam tulisan ilmiah akan semakin memuncak, sehingga persentase kesamaan (similarity index) dalam Turnitin akan semakin tinggi. Hal ini menyebabkan mahasiswa sering kesulitan menurunkan persentase kemiripan tulisannya tanpa mengubah esensi dari karya ilmiahnya. Dan kemudian, kita kembali mendengar pernyataan, "Buatlah artikel yang baik." Pernyataan ini mengingatkan saya pada sebuah seminar proposal yang saya hadiri.

Dalam seminar proposal tersebut, seorang mahasiswa S2 Pendidikan Matematika mengembangkan instrumen untuk calon guru matematika. Seorang dosen kemudian bertanya, "Apakah ini sesuai dengan output visi dan misi S2 Pendidikan Matematika?" Padahal, jika kita melihat dari sampelnya saja—yaitu calon guru matematika—jelas bahwa topik ini masih relevan dengan program studi yang diikuti. Untungnya, ada dosen lain yang memberikan penguatan terhadap mahasiswa tersebut karena memang ide penelitiannya masih dalam ranah keilmuan yang sesuai.

Seharusnya, sebelum menyarankan mahasiswa untuk "membuat artikel yang baik," para pengelola akademik juga melihat kembali kesiapan sarana dan prasarana yang disediakan. Membangun visi dan misi akademik tanpa kesiapan fasilitas hanya akan menjadi jargon kosong.

Saya pribadi tidak aktif dalam organisasi mahasiswa S2 karena kalah dalam pemilihan voting. Namun, setidaknya dengan tulisan ini saya bisa bersuara dan menyampaikan kritik yang konstruktif. Saya berharap tulisan ini bisa dibaca oleh para pemimpin dan calon pemimpin yang benar-benar peduli terhadap kualitas pendidikan, bukan hanya sekadar menjalankan visi tanpa usaha lebih.

Satu hal lagi yang ingin saya angkat adalah mengenai mata kuliah seminar proposal. Dalam praktiknya, mata kuliah ini sebenarnya tidak memiliki korelasi langsung dengan tingkat kelulusan mahasiswa S2. Jika kampus benar-benar ingin membantu mahasiswa lulus tepat waktu, maka sebaiknya dosen pembimbing sudah ditetapkan pada akhir semester 1 atau awal semester 2. Mengapa? Karena manusia memiliki batas kejenuhan dalam belajar. Sering kali, mahasiswa ingin belajar hal lain di luar bidang utama mereka untuk menambah keterampilan yang berguna di dunia kerja. Jika pembimbing sudah ditentukan lebih awal, mahasiswa bisa lebih cepat mengarahkan penelitiannya, sehingga proses penyelesaian tesis menjadi lebih efisien.

Penelitian saya sendiri memang jarang dilakukan. Mengapa? Karena saya tahu bahwa penelitian yang benar-benar baru dan berbeda dari yang lain sangat sulit dilakukan, terutama karena keterbatasan akses ke artikel-artikel yang terindeks Scopus. Ketika ada syarat "minimal harus mengutip artikel Scopus," hal ini justru menjadi beban tersendiri bagi mahasiswa. Banyak yang akhirnya memilih meneliti topik yang sama dengan penelitian sebelumnya hanya agar bisa menyelesaikan tesis lebih cepat. Distorsi semacam ini menyebabkan tingkat kesamaan penelitian semakin tinggi.

Saya berharap kritik ini bisa diterima dengan sikap legowo. Dengan menulis ini, saya tidak bermaksud untuk menghakimi dosen atau sistem pendidikan yang ada. Sebaliknya, saya ingin membuka diskusi agar kita semua bisa memperbaiki sistem akademik menjadi lebih baik. Semoga para pemimpin akademik dan para pengambil kebijakan bisa membaca ini dan benar-benar mempertimbangkan perbaikan dalam sistem pendidikan tinggi kita.


Posting Komentar

0 Komentar