Namun, pertanyaan penting muncul dalam benak: benarkah air adalah bencana? Apakah adil menyematkan kata “bencana” pada air yang merupakan unsur kehidupan? Mungkinkah kita selama ini keliru memaknai peran elemen-elemen alam dalam kehidupan manusia? Sejauh mana manusia memahami, menghargai, dan hidup berdampingan dengan ciptaan Tuhan yang telah hadir jauh sebelum keberadaan manusia sendiri?
Untuk menjawabnya, mari kita memulai perjalanan ini dari awal mula penciptaan.
Dalam banyak ajaran dan filsafat spiritual, dikisahkan bahwa sebelum manusia pertama, yakni Nabi Adam, diturunkan ke bumi, Tuhan terlebih dahulu menciptakan langit dan bumi. Alam semesta dengan segala komponennya sudah lengkap dan bekerja secara harmonis jauh sebelum kehadiran manusia. Matahari sudah terbit dan terbenam dengan keteraturan yang tak pernah lalai. Gunung-gunung menjulang dengan angkuh, laut menghampar dengan kebijaksanaan sunyinya, angin berhembus mengikuti ritme tak tertulis, dan air mengalir dari pegunungan menuju lautan tanpa pernah terlambat.
Kita, manusia, adalah pendatang baru di panggung bumi. Kita bukan pencipta tata alam, bukan pula pengatur ritmenya. Kita hanyalah penghuni yang harus belajar menyesuaikan diri, memahami, dan hidup berdampingan dengan tatanan yang telah ada. Namun, ironisnya, sering kali manusia berlaku seakan-akan dialah penguasa segalanya. Ketika alam menunjukkan kekuatannya yang sejatinya hanyalah ekspresi dari sifat-sifat alamiah yang telah ditetapkan Tuhan sejak semula manusia menyebutnya sebagai bencana. Padahal, jika kita jujur, penyebab utama kerusakan bukanlah air, angin, atau tanah, melainkan tangan-tangan manusia yang serakah dan abai.
Air adalah salah satu unsur paling fundamental dalam kehidupan. Tubuh manusia sendiri terdiri dari lebih dari 60 persen air. Kita minum air untuk bertahan hidup, menggunakan air untuk mencuci, memasak, dan bertani. Setiap tetes air yang turun dari langit adalah rahmat, bukan malapetaka. Maka, sangatlah tidak adil ketika air yang mengalir, sebagaimana mestinya, justru dituding sebagai sumber bencana.
Di sekolah dasar, kita diajarkan bahwa air memiliki dua sifat utama: ia selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan ia mampu meresap melalui celah-celah terkecil. Dua sifat ini, sesungguhnya, menunjukkan betapa disiplin dan konsistennya air mengikuti hukum alam. Ia tidak pernah salah arah. Ia tidak pernah “mengamuk” seperti judul-judul media yang sensasional. Ia hanya bergerak sesuai fitrahnya, sesuai ketetapan Tuhan yang menciptakannya.
Maka pertanyaannya, jika air hanya mengikuti kodratnya, siapa yang sebenarnya bersalah ketika air memenuhi jalanan, masuk ke rumah-rumah, dan menghancurkan bangunan? Siapa yang menutup daerah resapan air? Siapa yang mengubah fungsi sungai menjadi tempat pembuangan sampah? Siapa yang membangun gedung-gedung tinggi tanpa memikirkan sistem drainase yang memadai? Siapa yang menebangi hutan-hutan di hulu dan menggantinya dengan beton?
Jawabannya tentu saja: manusia.
Ironisnya, ketika air tidak hadir di suatu daerah, seperti saat kemarau panjang melanda dan sumur-sumur mengering, manusia pun kembali mengeluh. Mereka merintih karena kekurangan air, berdoa agar hujan turun, dan menyambut rintik pertama dengan suka cita. Tapi ketika air datang dalam jumlah besar, mereka berteriak "bencana!" Tanpa sadar, manusia sering kali bersikap kontradiktif terhadap air, mencintainya sekaligus membencinya, membutuhkan sekaligus menyalahkannya.
Tanah dan Pohon: Mitra Alam yang Sering Dilupakan
Air bukan satu-satunya elemen alam yang sering disalahkan. Tanah pun kerap menjadi kambing hitam dalam berbagai peristiwa longsor. Padahal, tanah memiliki karakteristik yang sama alami dan netralnya dengan air. Tanah bergerak bukan karena kehendaknya sendiri, tetapi karena kehilangan penopangnya: pohon. Akar-akar pohon berfungsi untuk menjaga tanah tetap kokoh, mengikatnya agar tidak mudah tergerus ketika hujan deras mengguyur.
Namun, apa yang terjadi di banyak daerah? Hutan-hutan gundul. Bukit-bukit yang dulu hijau berubah menjadi lahan gersang. Pepohonan yang seharusnya berdiri kokoh menjaga kestabilan tanah ditebang demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Maka, ketika tanah kehilangan penopangnya dan akhirnya longsor, kita pun menyebutnya “bencana alam”.
Padahal, ini bukan bencana alam. Ini adalah bencana akibat ulah manusia. Bencana ekologis yang lahir dari keserakahan, dari ketidakpedulian, dari kegagalan melihat alam sebagai sahabat yang perlu dijaga, bukan sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi.
Kita hidup dalam budaya yang kerap kali membangun narasi secara simplistis. Dalam konteks peristiwa alam, narasi “bencana” muncul dengan sangat cepat tanpa melihat akar permasalahan secara menyeluruh. Air dan tanah diposisikan sebagai antagonis, sementara manusia dianggap sebagai korban. Padahal dalam banyak kasus, manusialah yang justru menjadi antagonis terhadap alam.
Penggunaan kata “bencana” sering kali memunculkan mentalitas menyalahkan tanpa refleksi. Kita lebih cepat mencari kambing hitam daripada bertanya pada diri sendiri: apa yang telah kita lakukan sehingga ini terjadi? Kata “bencana” memberikan pembenaran untuk menyalahkan alam, seolah-olah kita tidak memiliki peran dalam kerusakan yang terjadi.
Maka, perlu ada pergeseran paradigma. Alih-alih melihat banjir, longsor, dan kekeringan sebagai bencana alam, kita perlu melihatnya sebagai peringatan alam. Sebuah cermin yang memantulkan kembali kesalahan dan kelalaian kita. Alam tidak pernah salah. Alam hanya merespon tindakan manusia. Ketika kita merusak ekosistem, mengganti fungsi lahan, mencemari air dan udara, maka respons alam adalah konsekuensi logis, bukan pembalasan.
Untuk bisa hidup harmonis dengan alam, manusia perlu mengubah cara pandangnya. Tidak cukup hanya membangun tanggul, memperbaiki drainase, atau menanam pohon sebagai solusi teknis. Kita perlu perubahan cara berpikir yang lebih dalam. Kita harus belajar memandang alam bukan sebagai objek yang bisa dikuasai, tetapi sebagai subjek yang harus dihormati.
Kita bisa mulai dengan hal-hal kecil: tidak membuang sampah sembarangan, ikut serta dalam gerakan penghijauan, mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya, atau bahkan sekadar mengingatkan teman yang merusak lingkungan. Setiap tindakan kecil punya dampak, karena perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran individu.
Kesadaran ini juga harus dimulai dari pendidikan. Sekolah-sekolah harus mengajarkan bukan hanya teori tentang lingkungan, tetapi juga nilai-nilai penghormatan terhadap alam. Anak-anak harus diajak untuk memahami bahwa mereka adalah bagian dari alam, bukan penguasa atasnya. Kita perlu menumbuhkan generasi yang sadar bahwa hidup harmonis dengan alam adalah syarat untuk keberlangsungan hidup itu sendiri.
Jika kita mau membuka hati dan mata, sesungguhnya alam adalah guru yang sangat bijaksana. Air mengajarkan kita tentang kesabaran, ketekunan, dan kemampuan menyesuaikan diri. Ia tidak pernah berhenti bergerak, tapi juga tidak pernah melawan arah. Ia mencari celah terkecil, menunjukkan bahwa kekuatan tidak selalu datang dari kekerasan. Ia mengalir rendah, mengajarkan kita tentang kerendahan hati.
Tanah mengajarkan kita tentang keteguhan dan kesetiaan. Ia menopang kehidupan diam-diam tanpa pamrih. Ia menjadi media tumbuh bagi tanaman, tempat berpijak bagi makhluk hidup, dan ruang bagi sejarah yang panjang.
Pohon mengajarkan kita tentang keteduhan dan ketulusan. Ia memberi oksigen, buah, dan perlindungan tanpa meminta imbalan. Ia menjadi penyeimbang ekosistem, pengatur suhu, dan pelindung tanah dari erosi.
Semua elemen alam ini saling terkait, saling melengkapi, dan bekerja dalam harmoni. Ketika salah satu elemen terganggu, keseimbangan pun terguncang. Dan itulah yang selama ini terjadi karena ulah kita sendiri.
Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Banjir yang telah terjadi, hutan yang telah ditebang, sungai yang telah tercemar, semua itu sudah menjadi bagian dari sejarah. Tapi kita masih punya masa depan. Dan masa depan itu ditentukan oleh apa yang kita lakukan hari ini.
Kita tidak sedang dalam perang melawan alam. Justru, kita adalah bagian dari alam itu sendiri. Maka berhentilah menyebut alam sebagai musuh. Berhentilah menyalahkan air, tanah, atau pohon. Mulailah dengan menyadari bahwa kita perlu memperbaiki diri, memperbaiki hubungan kita dengan alam.
Satu tindakan kecil seperti menanam pohon, membersihkan sungai, mengurangi sampah plastik, mungkin tampak remeh. Tapi jika dilakukan oleh jutaan orang dengan kesadaran yang sama, maka dunia akan berubah. Kita tidak bisa menunggu perubahan besar dari atas. Kita harus memulainya dari bawah, dari diri sendiri.
Dan yang paling penting, jangan lagi menyebut banjir sebagai bencana tanpa terlebih dahulu bertanya: siapa yang sebenarnya telah mengingkari perannya dalam menjaga harmoni bumi?


0 Komentar