Sekarung Beras, Sepetak Bencana: Satire Demokrasi Murah

Di banyak daerah di Indonesia, kita sering menyaksikan paradoks yang menyakitkan: orang-orang yang pernah memimpin dengan jejak korupsi, memperkaya diri, memberi izin tambang yang merusak, mengubah hutan menjadi kebun monokultur tanpa kendali, atau membiarkan sungai tercemar, tetap bisa kembali terpilih. Mereka kembali menjadi kepala daerah, anggota DPR, anggota DPRD, bahkan wakil rakyat di tingkat nasional. Sementara itu, warga yang terdampak banjir, longsor, kekeringan, atau udara kotor, seakan dipaksa menjalani nasib yang berulang. Di momen pemilu, cukup dengan sekarung beras, minyak goreng, mie instan, atau amplop berisi uang, sebagian masyarakat memaafkan dan melupakan. Pertanyaannya: mengapa ini terjadi, dan apa yang sebenarnya sedang dipertaruhkan ketika suara rakyat dibeli murah?



Pertama-tama kita perlu jujur bahwa “pemaaf” dalam konteks ini sering bukan soal kelapangan hati, melainkan gabungan dari tekanan hidup, kekurangan pilihan, dan sistem politik yang sengaja dibiarkan mahal. Di negara dengan ketimpangan tinggi, sebagian warga hidup dari hari ke hari. Ketika seseorang kesulitan membayar kontrakan, biaya sekolah anak, listrik, atau sekadar membeli lauk, maka bantuan yang datang menjelang pemilu meskipun bermotif, tetap terasa sebagai pertolongan konkret. Dalam kondisi seperti itu, moralitas politik sering kalah oleh kebutuhan yang paling mendesak. Ini bukan berarti warga bodoh. Ini berarti warga berada dalam situasi rentan, dan kerentanan itu dieksploitasi.

Di sisi lain, praktik “serangan fajar” atau pembagian sembako bukan sekadar ulah individu calon. Ia berakar pada struktur: biaya kampanye yang besar, partai yang kerap lebih sibuk mengurus tiket pencalonan daripada membina kader, serta budaya politik transaksional yang terus dinormalisasi. Ketika masuk politik butuh modal besar, maka yang paling mudah maju adalah mereka yang punya uang atau akses ke sponsor. Sponsor itu bisa kontraktor, cukong, pengusaha tambang, pemilik kebun besar, atau jaringan bisnis yang berkepentingan pada izin, proyek, dan regulasi. Dari sini, hubungan antara korupsi dan perusakan alam menjadi jelas: banyak keputusan yang merusak lingkungan bukan kebetulan, melainkan cara “balik modal” setelah menang.

Perusakan alam sering terlihat jauh dari bilik suara. Izin tambang di hulu sungai, pembukaan hutan di lereng, reklamasi, pengerukan pasir, pembangunan yang memotong kawasan resapan, semuanya tampak seperti urusan teknis. Namun dampaknya menetes pelan ke kehidupan sehari-hari: banjir yang makin sering, tanah yang kehilangan daya serap, air bersih yang susah, hasil panen yang menurun, penyakit pernapasan, hingga bencana yang disebut “alam” padahal banyak unsur “buatan manusia.” Ketika banjir datang, kita sering menyalahkan hujan. Padahal hujan adalah hal wajar di negeri tropis. Yang tidak wajar adalah hutan yang hilang, sungai yang menyempit oleh bangunan, drainase yang mampet oleh sampah dan sedimentasi, serta tata ruang yang diperdagangkan. Bencana menjadi semacam tagihan yang jatuh tempo dari keputusan-keputusan politik masa lalu.

Namun mengapa pemimpin yang jejaknya buruk tetap dipilih? Salah satunya karena politik kita sering bekerja dengan logika jangka pendek. Pemilu datang lima tahun sekali, tetapi kebutuhan makan datang tiga kali sehari. Banyak kandidat bermain di celah ini. Mereka memberi bantuan kecil yang langsung terasa, lalu menjual narasi seolah itu bukti kepedulian. Bantuan itu kadang diberi kemasan “sedekah,” “rezeki,” atau “berbagi,” padahal sejatinya adalah investasi untuk memperoleh kuasa. Dan setelah kuasa didapat, rakyat jarang punya mekanisme kuat untuk menagih janji. Akhirnya, siklus berulang: menjelang pemilu, bantuan turun; setelah pemilu, akses rakyat kembali sulit.

Ada juga faktor psikologis dan sosial. Di banyak komunitas, hubungan patron-klien masih kuat: pemimpin lokal, tokoh masyarakat, atau “orang kuat” setempat menjadi perantara antara warga dan negara. Mereka bisa memengaruhi pilihan politik lewat jaringan keluarga, bantuan, atau tekanan halus. Kadang warga memilih bukan karena percaya pada calon, tetapi karena “tidak enak” pada tokoh yang mengarahkan, atau takut kehilangan akses bantuan sosial, pekerjaan, atau keamanan. Dalam situasi ini, memilih menjadi tindakan yang tidak sepenuhnya bebas. Demokrasi prosedural ada, tetapi demokrasi substantif kebebasan memilih tanpa tekanan yang masih rapuh.

Masalah semakin rumit ketika informasi publik tidak merata. Jejak kebijakan yang merusak alam sering tidak tercatat dalam bahasa yang mudah dipahami warga. Data izin tambang, AMDAL, perubahan tata ruang, atau laporan audit korupsi sering berada di dokumen yang rumit. Sementara itu, para pelaku punya tim komunikasi yang lihai: mereka bisa membangun citra lewat baliho, konten media sosial, acara hiburan, dan bantuan yang difoto. Warga disuguhi simbol-simbol kepedulian yang tampak nyata, sementara kerusakan struktural yang mereka sebabkan tidak terlihat di permukaan. Politik citra mengalahkan politik kinerja.

Kita juga perlu membahas bagaimana korupsi dan perusakan alam saling menguatkan. Korupsi di sektor sumber daya alam sering terjadi melalui jual-beli izin, manipulasi laporan lingkungan, pengawasan yang dilemahkan, dan kriminalisasi warga yang menolak. Ketika aparat atau lembaga pengawas tidak independen, perusahaan yang merusak bisa tetap beroperasi. Ketika penegakan hukum bisa dinegosiasikan, pelanggaran lingkungan menjadi “biaya operasional.” Di sini, demokrasi yang lemah memberi ruang pada oligarki: segelintir orang dengan modal besar dapat membentuk kebijakan sesuai kepentingannya, sementara warga hanya menerima dampak.

Sering kali, kerusakan alam juga dibungkus dengan jargon pembangunan. Tambang disebut membuka lapangan kerja, pembukaan lahan disebut meningkatkan ekonomi daerah, proyek besar disebut membawa kemajuan. Memang benar bahwa ekonomi perlu bergerak dan orang butuh pekerjaan. Tetapi pertanyaan kritisnya: ekonomi siapa yang bergerak, dan siapa yang menanggung biayanya? Banyak daerah kaya sumber daya tetap memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa “kekayaan” dari eksploitasi alam tidak otomatis menjadi kesejahteraan warga. Sebaliknya, keuntungan besar mengalir ke pusat-pusat modal, sementara desa sekitar tambang kehilangan air bersih, lahan pertanian rusak, dan kesehatan memburuk. Pembangunan menjadi semu: terlihat megah di baliho, tetapi rapuh di lapangan.

Ketika bencana terjadi, kita sering mendengar kalimat “ini sudah takdir.” Kalimat ini bisa memberi ketenangan sesaat, tetapi juga dapat membunuh dorongan untuk mengoreksi kebijakan. Banjir bandang, longsor, kebakaran hutan, dan kabut asap bukan semata urusan takdir; banyak di antaranya berkaitan dengan pilihan: pilihan membuka hutan, membakar lahan, mengabaikan peringatan ahli, memberi izin di kawasan rentan, dan menutup mata pada pelanggaran. Jika kita terus memaknai bencana sebagai sesuatu yang murni “alami,” maka pelaku kebijakan lolos dari tanggung jawab. Mereka bisa tampil lagi sebagai “penolong” setelah bencana, membagi bantuan, berfoto, dan memanen simpati. Ironisnya, orang yang membantu memadamkan api politiknya adalah orang yang dulu menuangkan bensin kebijakannya.

Di titik ini, penting untuk menolak cara berpikir yang menyalahkan rakyat secara sederhana. Mengatakan “rakyat mudah dibeli” hanya separuh cerita dan sering menjadi cara nyaman bagi kelas menengah untuk merasa lebih benar. Yang perlu kita lihat adalah kondisi yang membuat pembelian suara efektif: kemiskinan, ketimpangan, kurangnya layanan publik, pendidikan politik yang minim, serta institusi yang lemah. Jika sebuah keluarga harus memilih antara idealisme dan makan malam, maka sistemlah yang gagal memberi jaminan kehidupan layak. Di sisi lain, tetap benar bahwa ada tanggung jawab moral warga sebagai pemilik kedaulatan. Tantangannya adalah bagaimana membangun kondisi agar tanggung jawab itu bisa dijalankan tanpa mengorbankan kebutuhan dasar.

Salah satu akar persoalan adalah lemahnya imajinasi politik tentang “hak.” Banyak bantuan yang dibagikan menjelang pemilu sebenarnya adalah hak warga atas kesejahteraan, yang seharusnya hadir sebagai kebijakan rutin, bukan hadiah musiman. Ketika hak dikemas sebagai hadiah, warga diposisikan sebagai penerima belas kasihan, bukan pemegang kedaulatan. Dari sini muncul rasa “utang budi” yang tidak semestinya ada dalam demokrasi. Padahal seharusnya relasi warga dan pemimpin adalah relasi mandat: warga memberi mandat, pemimpin bekerja, dan warga berhak mengoreksi atau mengganti.

Selain itu, politik transaksional juga merusak kemampuan masyarakat untuk berpikir jangka panjang. Alam bekerja dalam siklus panjang: hutan yang ditebang hari ini mungkin baru memunculkan dampak banjir besar beberapa tahun ke depan. Lapisan tanah yang rusak tidak pulih dalam setahun. Air tanah yang menipis tidak kembali hanya karena hujan semusim. Tetapi pemilu memaksa kita berpikir pendek. Calon menawarkan sesuatu yang bisa dilihat segera: bantuan, proyek cepat, atau hiburan. Sementara kerja-kerja pemulihan ekosistem, perbaikan tata ruang, reformasi birokrasi, dan pencegahan korupsi adalah pekerjaan yang tidak selalu “seksi” untuk kampanye. Akibatnya, politisi yang serius sering kalah panggung oleh politisi yang pandai menjual sensasi.

Kita juga perlu menyinggung peran media dan algoritma. Di era digital, informasi menyebar cepat, tetapi kebenaran tidak selalu ikut cepat. Konten kampanye bisa diproduksi masif, diboost, dan disebar lewat grup-grup percakapan. Isu lingkungan yang kompleks kalah oleh video singkat yang emosional. Skandal korupsi bisa ditenggelamkan oleh serangan isu identitas, fitnah, atau pengalihan perhatian. Warga yang lelah dan sibuk bekerja cenderung mengonsumsi informasi yang paling mudah dicerna. Ini bukan kesalahan individu semata, melainkan konsekuensi dari ekosistem informasi yang memprioritaskan keterlibatan, bukan kualitas.

Jika begitu, apa yang bisa dilakukan agar siklus “sekarung beras dibalas lima tahun penderitaan” tidak terus berulang? Jawabannya tidak bisa hanya satu, karena masalahnya berlapis. Di level masyarakat, kita perlu membangun budaya politik yang mengutamakan rekam jejak, bukan janji. Rekam jejak bisa dilihat dari kebijakan nyata: bagaimana pemimpin mengelola tata ruang, apakah ia memperkuat perlindungan daerah resapan, apakah ia menindak pelanggar lingkungan, bagaimana transparansi anggaran, apakah ia membuka data publik, dan bagaimana responsnya terhadap kritik. Kebiasaan mengecek rekam jejak harus dibuat semudah mengecek harga barang. Ini membutuhkan kerja kolektif: komunitas warga, organisasi pemuda, kampus, dan media lokal.

Di level ekonomi, penguatan jaring pengaman sosial adalah kunci. Selama banyak warga berada di tepi jurang kemiskinan, politik uang akan tetap efektif. Program bantuan sosial harus ditata agar tepat sasaran, transparan, dan tidak bisa dipolitisasi. Yang lebih penting, bantuan sosial harus dipahami sebagai hak warga, bukan alat tawar politik. Ketika warga merasa kebutuhan dasarnya lebih aman, mereka punya ruang mental untuk berpikir tentang masa depan dan lingkungan. Demokrasi yang sehat membutuhkan warga yang tidak terus-menerus cemas soal makan besok.

Di level institusi, penegakan hukum terhadap korupsi dan kejahatan lingkungan harus konsisten. Tanpa itu, pemilu hanya menjadi ritual pergantian wajah, bukan perbaikan sistem. Pelaku perusakan yang terbukti harus mendapat sanksi yang benar-benar membuat jera, termasuk pencabutan izin, pemulihan lingkungan, dan hukuman bagi oknum yang bermain. Transparansi perizinan, pengadaan barang-jasa, dan penggunaan anggaran harus diperkuat dengan sistem digital yang bisa diawasi publik. Namun teknologi saja tidak cukup jika mentalitasnya masih sama. Dibutuhkan keberanian politik dan tekanan publik yang terus-menerus.

Pendidikan politik juga harus dibumikan, bukan sekadar jargon. Pendidikan politik bukan berarti menghafal Pancasila atau struktur pemerintahan saja, tetapi kemampuan membaca hubungan sebab-akibat antara kebijakan dan kehidupan. Misalnya, mengapa banjir lebih parah setelah hulu dibuka, mengapa air sumur mengering setelah pembangunan masif, mengapa harga pangan bisa naik ketika lahan pertanian menyusut, mengapa proyek infrastruktur bisa menjadi ladang korupsi jika tidak diawasi, dan mengapa memilih berdasarkan sembako bisa memperpanjang kemiskinan itu sendiri. Pendidikan semacam ini bisa lahir dari diskusi warga, kelas-kelas komunitas, konten kreatif yang jernih, dan peran guru yang mendorong berpikir kritis.

Selain itu, perlu ada etika sosial baru: menerima bantuan untuk bertahan hidup boleh saja, tetapi tidak berarti harus menyerahkan pilihan politik. Ini memang tidak mudah di lapangan, karena tekanan sosial dan rasa sungkan bisa kuat. Namun etika ini penting sebagai perlawanan simbolik terhadap politik uang. Di beberapa tempat, warga mulai membangun kesepakatan: bantuan diterima sebagai “pengembalian” dari uang rakyat yang selama ini diambil, tetapi suara tetap berdasarkan nurani dan rekam jejak. Kesepakatan semacam ini bisa menjadi langkah awal, meski tentu risikonya harus dipertimbangkan dengan keamanan warga. Yang penting, jangan sampai rasa “utang budi” mematikan akal sehat politik.

Di sisi lain, kita juga harus mendorong lahirnya kandidat yang bersih dan berpihak pada ekologi serta keadilan sosial. Ini bukan pekerjaan individu, melainkan kerja organisasi: partai harus didesak melakukan rekrutmen kader yang serius, bukan sekadar menjual tiket. Masyarakat sipil bisa mendorong kontrak politik yang jelas, memantau, dan mengumumkan evaluasi berkala. Jika partai tetap tidak berubah, warga bisa membangun gerakan politik lokal yang kuat, mendorong figur alternatif, atau memperkuat jalur-jalur advokasi kebijakan agar siapapun yang terpilih tetap berada dalam tekanan publik.

Penting juga untuk melihat bahwa “memilih pemimpin baik” saja tidak cukup jika sistemnya tetap memberi ruang besar untuk merusak. Bahkan pemimpin yang berniat baik bisa tergoda atau terjebak oleh struktur biaya politik dan jaringan kepentingan. Karena itu, perbaikan harus menyasar aturan main: transparansi dana kampanye, pembatasan pengaruh donor, pengawasan partai, keterbukaan lobi kebijakan, serta akses warga untuk menggugat kebijakan yang merusak. Ketika aturan main lebih adil, pemimpin yang baik punya peluang lebih besar untuk bertahan dan bekerja, sementara pemimpin yang buruk lebih mudah disingkirkan.

Pada akhirnya, esai ini bukan ajakan untuk menghina masyarakat yang menerima sembako, melainkan ajakan untuk memutus lingkaran yang membuat kita semua rugi. Sembako habis dalam seminggu, tetapi izin tambang bisa merusak sungai selama puluhan tahun. Uang serangan fajar habis dalam sehari, tetapi hutang proyek dan kerusakan tata ruang bisa membebani generasi berikutnya. Kita perlu mengubah cara memandang politik: bukan panggung hiburan lima tahunan, melainkan alat menentukan kualitas udara yang kita hirup, air yang kita minum, tanah tempat kita menanam, dan keamanan rumah kita dari bencana.

Jika kita ingin bencana tidak terus menjadi berita rutin, maka kita harus berani mengaitkan bencana dengan kebijakan, dan mengaitkan kebijakan dengan pilihan politik. Kita harus berani menyebut bahwa merusak alam bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan kejahatan terhadap masa depan. Korupsi bukan sekadar “mencuri uang negara,” tetapi mencuri kesempatan anak-anak untuk hidup di lingkungan yang sehat. Memilih pemimpin dengan rekam jejak buruk bukan sekadar “salah pilih,” tetapi memberi izin moral agar perusakan dilanjutkan. Namun lagi-lagi, perubahan tidak bisa dituntut hanya dari warga yang paling rentan. Perubahan harus menjadi proyek bersama: negara memperkuat layanan dasar, institusi memperketat pengawasan, media memperbaiki kualitas informasi, sekolah dan kampus menumbuhkan nalar kritis, dan komunitas warga membangun solidaritas agar orang tidak mudah ditundukkan oleh lapar.

Demokrasi yang matang bukan demokrasi yang tidak pernah salah memilih, melainkan demokrasi yang cepat belajar dan berani mengoreksi. Kita bisa memulai dari hal sederhana: membicarakan rekam jejak secara terbuka di keluarga dan tetangga, menolak normalisasi politik uang, mendukung jurnalisme lokal yang mengungkap data, ikut forum warga yang membahas tata ruang, dan melaporkan pelanggaran lingkungan. Langkah-langkah ini mungkin terasa kecil, tetapi ia membangun otot kewargaan. Tanpa otot itu, kita hanya akan menjadi penonton yang tiap musim pemilu diberi hadiah kecil, lalu tiap musim hujan dihantam bencana besar.

Indonesia tidak kekurangan orang baik. Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Yang sering kurang adalah keberanian kolektif untuk mengatakan: suara rakyat tidak semurah itu, alam tidak selemah itu, dan masa depan tidak boleh digadaikan. Memaafkan pemimpin yang merusak alam dan korupsi bukan kebajikan, melainkan kelalaian yang dibayar dengan banjir, longsor, asap, dan kemiskinan yang diwariskan. Jika kita ingin memutusnya, kita harus berhenti menyebutnya “pemaaf” dan mulai menyebutnya apa adanya: hasil dari ketimpangan yang dipelihara. Dan jika kita ingin menjadi bangsa yang benar-benar pemaaf dalam arti mulia, maka kita harus memaafkan dengan cara yang bertanggung jawab: memaafkan manusia, tetapi tidak memaafkan sistem kejahatannya; membuka ruang perubahan, tetapi menutup ruang bagi pengulangan; memberi kesempatan perbaikan, tetapi menagih dengan pengawasan yang tegas.

Pada akhirnya, pilihan politik adalah pilihan tentang bagaimana kita ingin hidup bersama. Jika kita memilih pemimpin yang melihat alam hanya sebagai komoditas, maka kita akan hidup di negeri yang kaya tetapi rapuh. Jika kita memilih pemimpin yang melihat rakyat hanya sebagai angka suara, maka kita akan hidup di demokrasi yang bising tetapi miskin makna. Tetapi jika kita memilih pemimpin yang menganggap alam sebagai rumah bersama dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, maka kita punya peluang membangun Indonesia yang tidak hanya bertumbuh, tetapi juga bertahan. Dan bertahan di tengah krisis iklim, bencana yang meningkat, dan ketidakpastian ekonomi adalah bentuk kemajuan yang paling nyata.

Posting Komentar

0 Komentar