Kisah itu sederhana, nyaris seperti cuplikan pendek di pinggir jalan: seorang pengemis menghampiri seorang pemimpin dan bertanya, “Kamu ini seorang hamba atau orang yang merdeka?” Pertanyaan yang tampak ganjil itu justru mengandung daya ledak intelektual. Ia memaksa kita berhenti sejenak, memeriksa ulang definisi “hamba” dan “merdeka” yang selama ini sering kita gunakan secara serampangan. Dalam bahasa sehari-hari, “hamba” cenderung dipahami sebagai status rendah, identik dengan keterikatan, ketidakberdayaan, dan kehilangan otonomi. Sementara “merdeka” dibayangkan sebagai puncak martabat: bebas memilih, bebas menentukan arah, bebas dari tekanan. Namun, pertanyaan pengemis itu tidak sedang menanyakan status sosial atau hukum. Ia mengarahkan lampu sorot ke dimensi batin dan moral: apakah pemimpin tersebut menjalankan kekuasaan dengan jiwa yang tunduk pada kebenaran (sebagai hamba), atau justru menjadi budak dari ambisi, citra, dan ketakutan (yang tampak merdeka tetapi sesungguhnya terbelenggu). Dengan cara yang tajam namun halus, pengemis itu seakan berkata: kemerdekaan sejati tidak selalu terlihat dalam pakaian kebesaran atau kursi tinggi; ia terlihat dari siapa yang menguasai siapa di dalam diri.
Di titik ini, kita memasuki wilayah konseptual yang penting: “hamba” dan “merdeka” bukan sekadar dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua kategori yang dapat saling menyusup. Seseorang bisa menjadi hamba secara teologis tetapi merdeka secara psikologis, atau sebaliknya, tampak merdeka secara politis tetapi menjadi hamba bagi nafsu, uang, dan pengakuan. Tradisi intelektual, baik keagamaan maupun filsafat berulang kali menegaskan bahwa manusia selalu “mengabdi” kepada sesuatu. Dalam kerangka ini, pertanyaannya bergeser: mengabdi kepada apa? Bila seseorang mengabdi kepada Tuhan, ia dapat terbebas dari perbudakan terhadap selain-Nya; bila seseorang menolak pengabdian transenden, ia sering kali jatuh mengabdi pada berhala modern yang tidak kalah keras: status, konsumsi, algoritma perhatian, atau rasa takut kehilangan posisi. Karena itu, pertanyaan pengemis bukan soal pilihan antara dua label, tetapi undangan untuk membongkar struktur ketundukan yang bekerja di balik tindakan sehari-hari seorang pemimpin.
Konsep kehambaan dalam tradisi Islam, misalnya, tidak berhenti pada gambaran “ketundukan pasif.” ‘Ubudiyyah memuat makna pengakuan atas keterbatasan diri dan pengikatan kehendak kepada sumber nilai yang melampaui selera pribadi. Justru di sanalah paradoksnya kemerdekaan bisa lahir. Ketika seseorang tunduk pada Yang Maha, ia tidak lagi harus tunduk pada tirani sesama manusia atau tirani dirinya sendiri. Banyak teks moral dan tasawuf menekankan bahwa musuh paling licin bukanlah rantai di tangan, melainkan rantai di dalam dada: kesombongan yang halus, keinginan dipuja, kecemasan kehilangan kontrol. Seorang pemimpin yang “hamba” dalam makna ini adalah pemimpin yang tahu dirinya tidak absolut; ia sadar kekuasaan bukan miliknya, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Kesadaran semacam itu membentuk semacam rem etis internal. Ia tidak perlu menunggu hukum mengikatnya, sebab batinnya sudah terikat pada norma yang lebih tinggi daripada peraturan.
Di sisi lain, konsep “merdeka” punya sejarah panjang dalam pemikiran politik modern. Kemerdekaan sering dipahami sebagai kebebasan dari paksaan eksternal: tidak dijajah, tidak ditindas, tidak dilarang bersuara. Ini penting, bahkan fundamental. Namun pemikiran modern juga menyimpan perdebatan: apakah kebebasan cukup dipahami sebagai “tidak diganggu” (freedom from interference), atau harus juga dipahami sebagai “tidak didominasi” (freedom as non-domination)? Dalam pengertian kedua, seseorang bisa saja “tidak diganggu” hari ini, tetapi tetap tidak merdeka bila hidupnya bergantung pada kehendak pihak yang setiap saat dapat menekan. Seorang warga yang baik-baik saja karena penguasa sedang berbaik hati, bukan berarti merdeka; ia hanya sedang tidak disentuh. Maka kemerdekaan mensyaratkan struktur yang menahan kesewenang-wenangan: hukum, transparansi, akuntabilitas, dan budaya kritik. Di sini, pertanyaan pengemis kepada pemimpin memperoleh dimensi publik: apakah pemimpin itu memerintah dengan logika dominasi, atau dengan logika amanah yang membatasi dirinya?
Namun, kajian intelektual yang jujur tidak boleh berhenti pada struktur eksternal. Kita perlu memasuki etika batin yang sering diabaikan dalam diskursus politik: kebebasan internal. Tradisi filsafat Stoa, misalnya berpendapat bahwa manusia merdeka bila mampu mengendalikan penilaiannya sendiri. Orang yang dikuasai amarah, iri, dan takut adalah budak, sekalipun ia duduk di singgasana. Dalam bahasa yang berbeda, tasawuf mengatakan hal serupa: seseorang yang terbelenggu oleh nafsu adalah “terjajah” dari dalam. Maka ada dua medan kemerdekaan: medan politik yang menuntut lembaga dan aturan, dan medan spiritual-psikologis yang menuntut disiplin diri. Seorang pemimpin yang tidak menaklukkan dirinya akan cenderung menaklukkan orang lain; sebaliknya, pemimpin yang telah mengikat egonya cenderung enggan memaksakan kehendak, sebab ia tidak sedang mencari pengesahan diri lewat kekuasaan. Di sinilah pertanyaan “hamba atau merdeka” menjadi cermin: apakah ia memimpin untuk melayani kebenaran dan manusia, atau untuk memberi makan identitasnya sendiri?
Lalu bagaimana hubungan “hamba” dan “merdeka” itu bisa dipahami secara lebih ketat? Jika kehambaan dimaknai sebagai ketundukan kepada kebenaran yang melampaui ego, maka kehambaan adalah syarat kebebasan yang lebih dalam. Sebaliknya, jika kemerdekaan dimaknai sebagai ketiadaan semua ikatan, ia berubah menjadi ilusi, sebab manusia tanpa ikatan nilai akan ditarik ke sana kemari oleh dorongan yang paling kuat saat itu. Otonomi tanpa orientasi etis sering berakhir sebagai heteronomi terselubung: kita merasa memilih, padahal dipilihkan oleh nafsu, iklan, tren, atau ketakutan sosial. Dalam kerangka Kantian, manusia disebut otonom bukan karena ia bebas melakukan apa saja, melainkan karena ia mampu memberi hukum bagi dirinya sendiri berdasarkan prinsip moral yang dapat digeneralisasi. Ada “ikatan” di sana, tetapi ikatan itu lahir dari martabat rasional dan moral, bukan dari paksaan luar. Dalam bahasa religius, ikatan itu adalah ketaatan kepada Tuhan yang memurnikan kehendak; dalam bahasa filsafat moral, ia adalah ketaatan kepada hukum moral yang kita akui sebagai benar. Kedua jalur ini, meski berbeda landasan, sama-sama menolak kebebasan yang dibiarkan liar tanpa kompas.
Jika demikian, kita bisa membaca pertanyaan pengemis sebagai ujian kepemimpinan. Seorang pemimpin yang merdeka bukanlah yang bisa berbuat apa saja tanpa konsekuensi, melainkan yang tidak diperbudak oleh kepentingan sempit. Ia merdeka dari kebutuhan untuk selalu dipuji, merdeka dari ketergantungan pada lingkaran penjilat, merdeka dari ketakutan kehilangan jabatan yang membuatnya kompromi terhadap keadilan. Pada saat yang sama, pemimpin itu “hamba” dalam arti ia terikat pada amanah: ia membatasi diri, menahan tangan, mendengar kritik, dan bersedia kalah bila memang salah. Model ini bertentangan dengan tipe pemimpin yang tampak kuat namun rapuh: ia mengeras karena takut, ia menutup ruang diskusi karena cemas, ia mengontrol informasi karena tidak percaya pada daya nalar publik. Pemimpin semacam itu mungkin punya “kebebasan” untuk menekan, tetapi justru di situlah ia tidak merdeka; ia menjadi hamba dari rasa takut yang menyamar sebagai kewibawaan.
Dalam masyarakat, pertanyaan itu juga menggugat warga. Kita sering menuntut pemimpin ideal tanpa menuntut diri menjadi warga yang merdeka secara moral dan intelektual. Padahal, kepemimpinan adalah relasi, bukan monolog. Bila publik mudah dibeli oleh narasi dangkal, mudah dipecah oleh kebencian, mudah lelah untuk memeriksa fakta, maka ruang dominasi membesar. Kemerdekaan politik membutuhkan warga yang mampu mengelola perhatian dan emosinya, karena perhatian yang dicuri dan emosi yang diprovokasi adalah bentuk penaklukan yang halus. Dalam era digital, perbudakan tidak selalu datang dengan rantai besi; ia bisa datang lewat keterikatan pada “engagement,” lewat kecanduan validasi, atau lewat perang identitas yang membuat akal sehat kalah oleh reaksi instan. Maka “merdeka” di zaman ini menuntut kecakapan literasi: kemampuan membaca motif, memeriksa sumber, mengolah argumen, dan menahan diri untuk tidak segera menelan apa yang memuaskan emosi. Ini adalah kemerdekaan batin yang berdampak politik.
Kita juga perlu menyinggung sisi sosiologis dari kehambaan dan kemerdekaan: manusia selalu berada dalam jaringan struktur. Tidak semua ketidakmerdekaan adalah akibat kelemahan moral individu; ada kemiskinan struktural, ketimpangan akses pendidikan, diskriminasi, dan sistem ekonomi yang memaksa orang “memilih” dari pilihan yang sempit. Pengemis yang bertanya kepada pemimpin itu, dalam kemungkinan pembacaan lain, sedang mengingatkan bahwa kepemimpinan tidak boleh melupakan mereka yang kemerdekaannya terampas oleh kondisi material. Seseorang yang lapar tidak punya kebebasan yang sama dengan orang yang kenyang; seseorang yang takut digusur tidak punya ruang batin yang sama untuk mengembangkan potensi. Maka pemimpin yang “hamba” kepada keadilan harus membaca realitas sosial ini, tidak sekadar menggurui moralitas individu. Ia harus melihat bahwa memerdekakan manusia juga berarti membangun institusi yang adil: jaminan dasar, pendidikan bermutu, layanan kesehatan, kesempatan kerja, dan hukum yang melindungi yang lemah. Jika tidak, kata “merdeka” menjadi slogan kosong yang indah di pidato, tetapi tidak hadir di piring makan dan rasa aman.
Namun tetap ada bahaya lain: ketika pembicaraan struktur menghapus tanggung jawab individu. Kemerdekaan tidak pernah murni “diberikan”; ia selalu perlu “dilatih.” Struktur yang baik bisa rusak bila individu-individu di dalamnya tidak memiliki etika. Sebaliknya, individu yang kuat secara moral sering hancur bila sistemnya memaksa kompromi terus-menerus. Karena itu, kemerdekaan yang utuh harus dipahami sebagai pertemuan antara pembentukan diri dan pembentukan institusi. Dalam bahasa klasik, ada kerja tazkiyah, pemurnian batin; dalam bahasa modern, ada kerja civic virtue, kebajikan kewargaan. Keduanya tidak saling menggantikan. Pertanyaan pengemis tadi justru memotong dua-duanya sekaligus: ia bertanya kepada pemimpin tentang batinnya, tetapi melalui pemimpin ia juga bertanya tentang sistem yang dikelolanya. Sebab pemimpin yang batinnya kacau cenderung membangun sistem yang kacau, dan sistem yang kacau cenderung melahirkan individu-individu yang putus asa atau sinis.
Di sini kita sampai pada paradoks yang produktif: kehambaan kepada Tuhan atau kepada kebenaran moral dapat menjadi jalan menuju kemerdekaan, sementara klaim kemerdekaan yang menolak semua bentuk “pengabdian” sering berujung pada pengabdian yang lebih rendah. Dalam kehidupan sehari-hari, ini terlihat jelas. Orang yang berkata “aku bebas” tetapi tidak bisa berhenti dari kebiasaan merusak, sebenarnya sedang menunjukkan ketidakbebasan. Orang yang berkata “aku merdeka” tetapi selalu mengukur harga dirinya dari komentar orang, sebenarnya sedang menjadi hamba dari penilaian sosial. Orang yang menolak disiplin karena menganggapnya penjara, sering terjebak dalam kekacauan yang lebih menekan. Disiplin yang dipilih secara sadar bukan penjara; ia bisa menjadi alat pembebasan. Seperti musisi yang berlatih bertahun-tahun: ia “terikat” pada latihan, namun justru ikatan itu membebaskannya untuk bermain dengan ekspresi yang luas. Analogi ini membantu kita memahami kehambaan etis: ia mengikat nafsu, tetapi membebaskan martabat.
Dalam konteks kepemimpinan, kemerdekaan yang paling sulit justru kemerdekaan dari diri sendiri. Jabatan memberi peluang untuk memuaskan ego dengan cara yang tidak tersedia bagi kebanyakan orang. Ada “rasa” mengendalikan, rasa dihormati, rasa diprioritaskan, yang bisa membuat pemimpin pelan-pelan lupa bahwa ia juga manusia biasa. Di sinilah banyak pemimpin berubah bukan karena ideologi, melainkan karena candu kekuasaan. Maka pertanyaan pengemis itu bisa dibaca sebagai interupsi spiritual: sebelum kamu mengatur orang lain, apakah kamu sudah merdeka dari candu itu? Apakah kamu masih hamba yang sujud pada kebenaran, atau kamu sudah menjadi hamba dari kursi yang kamu duduki? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan retorika; ia dijawab dengan pola tindakan yang konsisten, terutama ketika tidak ada kamera.
Akhirnya, kisah pengemis dan pemimpin itu mengajarkan bahwa kata-kata besar seperti “hamba” dan “merdeka” tidak boleh dipenjara dalam definisi sempit. Kehambaan yang dipahami sebagai penghambaan pada kebenaran adalah bentuk tertinggi dari kemerdekaan, karena ia memutus ketergantungan pada selain kebenaran. Kemerdekaan yang dipahami sebagai kebebasan tanpa arah adalah bentuk halus dari kehambaan, karena ia menyerahkan kendali kepada dorongan yang paling bising. Karena itu, jawaban terbaik atas pertanyaan pengemis mungkin bukan memilih salah satu secara eksklusif, melainkan memadukan keduanya dalam urutan yang benar: menjadi hamba bagi Tuhan dan prinsip keadilan agar bisa merdeka dari tirani ego dan tirani dunia; dan menggunakan kemerdekaan politik serta institusional untuk memastikan manusia lain tidak dipaksa menjadi hamba oleh kelaparan, ketakutan, dan dominasi. Dengan demikian, pertanyaan “kamu hamba atau merdeka?” berubah menjadi kompas: ia menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati bukan kemampuan untuk berbuat sesuka hati, melainkan kemampuan untuk berbuat seadil mungkin, setenang mungkin, dan setulus mungkin bahkan ketika kekuasaan memberi kesempatan untuk melakukan sebaliknya.


0 Komentar