Merasa Paling Menderita, Antara Narsisme dan Simpati yang Tertukar

Dalam keramaian dunia modern, di mana validasi sering kali datang dalam bentuk notifikasi dan empati dijual dalam bungkus "curhat story" di media sosial, muncul satu tipe manusia yang bisa kita sebut sebagai spesies unik dalam lanskap psikologi: mereka yang merasa paling menderita. Bukan sekadar merasa sedih atau lelah oleh kehidupan itu wajar dan manusiawi, melainkan mereka yang benar-benar, sepenuh hati, percaya bahwa tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang lebih menderita daripada dirinya.



Jika Anda pernah mendengar seseorang berkata, “Kamu pikir kamu capek? Coba hidup jadi aku,” atau “Gaji kecil? Gua makan mie instan lima kali sehari dan itu pun pakai air galon sisa,” maka Anda mungkin sedang berhadapan dengan seseorang yang dalam spektrum psikologi menyentuh garis batas Narcissistic Personality Disorder (NPD), atau dalam versi yang lebih ringan: narsistik yang merasa dirinya adalah korban kehidupan paling tragis abad ini.

Untuk memahami ini dengan adil, mari kita buka lembar demi lembar kepribadian narsistik ini. Tapi tenang, tulisan ini tidak akan menjadi kuliah klinis yang kering seperti roti gandum tanpa selai. Justru sebaliknya kita akan menyelami persoalan ini dengan intelektual yang santai, humor yang tidak menyakitkan, dan secangkir refleksi diri yang mungkin pahit, tapi sehat.

NPD, atau gangguan kepribadian narsistik, adalah suatu kondisi di mana seseorang memiliki rasa kepentingan diri yang sangat tinggi, kebutuhan yang dalam akan pujian, dan, ironisnya, kepekaan luar biasa terhadap kritik. Ia merasa istimewa unik, luar biasa, terpilih dan sayangnya, dalam versinya yang merasa paling sengsara, ia juga merasa bahwa penderitaannya bukan sekadar penderitaan biasa. Bukan patah hati ala sinetron. Ini adalah penderitaan eksistensial, kosmik, bahkan mungkin layak difilmkan oleh Netflix dengan judul "Siksa Abadi: Memoar Seorang Aku." Tapi mengapa seseorang bisa merasa bahwa dirinya adalah pusat dari segala kesusahan di dunia?

Psikologi menawarkan banyak penjelasan. Salah satunya, tentu saja, adalah mekanisme pertahanan diri. Mereka yang merasa tidak aman, rapuh secara emosional, atau tumbuh dalam lingkungan yang tidak menumbuhkan harga diri yang sehat, kadang-kadang berbalik arah: dari merasa tak berarti menjadi merasa paling berarti. Dari merasa lemah menjadi memainkan peran tokoh utama yang teraniaya. Dalam drama ini, dunia adalah panggung, dan mereka adalah protagonis yang malang tapi heroik. Kalau ada penghargaan “Tokoh Teraniaya Tahunan,” mereka sudah siap pidato di atas podium.

Dan jangan salah, ini bukan soal pura-pura. Dalam banyak kasus, penderita NPD sungguh-sungguh percaya bahwa penderitaan merekalah yang paling berat. Empati terhadap orang lain menjadi kabur karena mereka benar-benar tak mampu membayangkan bahwa orang lain juga bisa merasa sakit, kecewa, atau lelah. Saat orang lain bercerita soal kelelahan kerja, ia langsung merasa wajib membalas dengan kisah kerja tiga shift, tanpa AC, ditemani tikus dan kenangan pahit. Di sini, percakapan bukan lagi tentang saling berbagi rasa, tapi tentang saling adu derita.

Apa yang menarik dari narsistik jenis ini adalah kemampuannya memutar balik setiap kenyataan menjadi narasi penderitaan. Promosi kerja? Bebannya tambah besar, gak ada yang ngerti susahnya tanggung jawab. Tidak dipromosikan? Dunia gak adil, dia selalu jadi korban sistem. Putus cinta? Semua mantan sama, gak bisa hargai orang baik. Jadian lagi? “Semoga dia gak nyakitin aku kayak semua orang sebelumnya.” Ujung-ujungnya, baik bahagia maupun sedih, semuanya berujung pada tesis yang sama: hidup saya adalah paling rumit dan menyakitkan. Dan saya ingin kamu tahu. Sekarang.

Tentu, ini bukan berarti semua orang yang merasa lelah atau curhat itu narsistik. Beda tipis antara "butuh didengar" dan "butuh dipuja karena kuat menahan derita." Yang pertama adalah kebutuhan manusiawi, yang kedua adalah kebutuhan eksistensial khas NPD. Orang dengan NPD ingin penderitaannya bukan hanya dipahami, tapi dikagumi. Mereka tidak hanya ingin empati, tapi juga penghormatan. Sebuah pengakuan bahwa, “Wow, kamu hebat ya bisa tetap hidup meskipun dunia sebegitu kejamnya padamu.”

Dalam relasi personal, orang seperti ini bisa sangat melelahkan. Pasangan mereka akan merasa seperti sedang pacaran dengan naskah sinetron: penuh drama, salah sedikit langsung dianggap menyakiti jiwa yang sudah luka. Kawan dekat pun bisa merasa terjebak dalam lingkaran pengakuan berulang: tiap kali si narsistik berbicara, temanya hanya satu—aku dan luka-lukaku. Anda mungkin ingin bicara tentang hari yang berat, tapi tunggu dulu, mereka lebih berat.

Anda ingin cerita soal kehilangan, tapi sabar, mereka pernah kehilangan lebih parah, lebih dalam, lebih menyakitkan, dan lebih layak untuk dibicarakan.

Secara intelektual, fenomena ini menggambarkan krisis identitas dan empati di masyarakat modern. Di satu sisi, kita hidup di zaman yang mendorong self-expression. Semua orang diminta “menjadi diri sendiri,” “speak up,” dan “raw vulnerability is powerful.” Tapi dalam konteks NPD, kerentanan menjadi alat manipulasi. Ketulusan berubah menjadi panggung. Kesedihan bukan lagi pengalaman batin, tapi narasi untuk menciptakan citra: saya adalah korban yang tabah, pahlawan dalam kesunyian, dan kalian semua harus tahu betapa beratnya jadi saya.

Apakah mereka tidak tahu bahwa orang lain juga punya masalah? Tentu tahu. Tapi masalahnya adalah: masalah orang lain tidak sepenting masalah mereka. Ingat, ini adalah dunia dengan narasi satu arah. Mereka bukan hanya butuh cerita mereka didengar, tapi juga menjadi cerita utama. Jika Andamenceritakan kisah Anda, mereka akan mendengarkan—sebentar—lalu menyela dengan kisah mereka yang lebih dramatis. Ini bukan komunikasi, ini kompetisi penderitaan.

Lalu, bagaimana menghadapi orang seperti ini?

Dengan sabar. Dan batasan. Banyak batasan.

Dalam psikoterapi, penanganan NPD adalah proses yang kompleks. Salah satu tantangan utamanya adalah: penderita NPD sering tidak merasa ada yang salah dengan dirinya. Mengapa harus berubah jika dunia yang salah? Jika orang lain yang tidak memahami? Jika semua penderitaan ini bukan karena dirinya, tapi karena orang-orang yang tak peka?

Namun jika ia bersedia terbuka, terapi bisa membantu menumbuhkan empati dan kesadaran bahwa dunia tidak berputar mengelilinginya. Bahwa rasa sakit orang lain juga valid. Bahwa menjadi manusia berarti menjadi bagian dari kolektif, bukan pusatnya.

Dan untuk kita yang mungkin membaca ini sambil tersenyum getir—karena merasa pernah bertemu, atau bahkan merasa sedikit terwakili—maka ini adalah kesempatan untuk bercermin. Apakah kita, dalam beberapa situasi, juga kadang terjebak dalam narasi penderitaan yang berlebihan? Apakah kadang kita berharap orang lain memberi perhatian bukan karena kita memang butuh ditolong, tapi karena kita ingin dikagumi sebagai orang yang “kuat menahan luka”?

Jika jawabannya iya—tak apa. Itu manusiawi. Tapi menyadarinya adalah langkah awal untuk keluar dari pola yang melelahkan ini.

Akhirnya, manusia adalah makhluk yang rapuh sekaligus tangguh. Kita semua punya cerita, punya luka, punya trauma, dan punya cara masing-masing untuk menghadapinya. Yang membedakan bukan jumlah air mata, tapi seberapa kita bisa mengerti bahwa kesedihan bukan ajang perlombaan. Bahwa kita bisa menangis tanpa merasa paling pantas ditangisi. Dan bahwa menjadi manusia bukan soal siapa yang paling menderita, tapi siapa yang bisa saling mendengar meski hatinya sendiri sedang penuh.

Jadi, jika suatu hari Anda bertemu seseorang yang merasa paling susah sedunia, beri dia senyum hangat, lalu bisikkan dengan lembut, “Tenang, kamu gak sendiri. Tapi kita semua juga nggak mau jadi penonton drama tanpa akhir.”

Dan kalau masih berkeras juga ingin jadi korban utama, ya sudah—kasih dia panggung. Tapi jangan lupa, Anda juga punya remote untuk matikan dramanya kapan saja. Demi kewarasan bersama.

Posting Komentar

0 Komentar