Ludahan Imajinatif dan Tempat Kita Bekerja

Dalam peradaban yang katanya terus tumbuh ini, kita sering kali bertemu dengan frasa yang diucapkan penuh wibawa namun kosong dari kebijaksanaan yang sebenarnya. Salah satunya—dan mungkin yang paling banyak diucapkan oleh mereka yang menganggap dirinya sebagai penjaga stabilitas—adalah: 

“Jangan pernah meludahi tempatmu bekerja.”

Kalimat ini sering dilafalkan dengan raut serius, seolah mengandung hikmah surgawi yang turun ke bumi. Padahal jika direnungkan lebih jauh, ia lebih sering menjadi bungkus manis untuk menutupi kekakuan berpikir dan ketakutan akan perubahan.



Apa sebenarnya makna dari frasa itu? Tentu saja, pada satu sisi, ia dapat dimaknai sebagai ajakan untuk bersikap hormat kepada institusi atau sistem yang telah memberi kita nafkah, pengalaman, dan ruang tumbuh. Sebuah permintaan untuk tidak menggigit tangan yang memberi makan.Tapi, benarkah institusi selalu memberi makan? Dan benarkah kritik yang dilontarkan pasca-kepergian dari suatu tempat senantiasa layak disebut "meludah"?

Tidak jarang, yang dianggap ludah hanyalah bentuk-bentuk kejujuran yang selama ini dibungkam. Ungkapan-ungkapan yang tidak mendapat tempat selama seseorang masih berada dalam sistem tersebut, karena sistem tidak menyediakan ruang aman bagi kritik yang membangun. Dalam situasi seperti itu, kejujuran pun dipaksa menjadi pengkhianatan.

Ada satu ironi yang kerap terjadi: orang yang berkata “jangan pernah meludahi tempatmu bekerja” justru seringkali adalah mereka yang ingin semua tetap diam. Mereka tak nyaman saat narasi dominan mulai dikacaukan oleh suara-suara lain, yang mungkin lebih jujur, lebih kompleks, dan lebih manusiawi. Mereka membungkus ketakutan mereka terhadap perubahan dengan balutan sopan santun yang artifisial.Mereka lebih memilih kenyamanan ilusi daripada kegelisahan yang membawa pada pembaruan.

Barangkali, mereka lupa bahwa banyak revolusi lahir dari ludahan simbolik terhadap sistem yang membusuk. Bukan karena para revolusioner tidak tahu berterima kasih, tetapi karena mereka lebih tahu kepada siapa ucapan terima kasih seharusnya diberikan: kepada nilai, bukan kepada bangunan kosong bernama lembaga. Kepada kebenaran, bukan kepada kenyamanan semu yang dibentuk oleh senioritas, otoritas, dan rutinitas yang mandek.

Ketika seseorang akhirnya keluar dari sebuah sistem dan mulai berbicara jujur tentang pengalaman kelam, ketimpangan, atau bahkan ketololan yang ia temui di dalamnya, yang dilakukannya bukan meludah, tetapi menulis catatan kaki bagi sejarah. Catatan itu kadang pahit, tetapi diperlukan. Sebab tak ada lembaga yang benar-benar berkembang jika setiap kritik hanya dianggap sebagai pengkhianatan.

Orang-orang yang terlalu cepat menuduh “ludah” pada kritik, bisa jadi adalah mereka yang terlalu cinta pada pantulan wajah mereka sendiri dalam sistem yang mereka bela. Mereka ingin institusi tetap seperti cermin yang membenarkan segala bentuk ketidakberesan, selama itu melanggengkan eksistensi mereka.

Padahal, setiap tempat kerja, betapapun mulianya secara nama, adalah juga tempat yang penuh cacat dan bias manusiawi. Ia perlu koreksi, ia perlu teguran, bahkan kadang perlu diteriaki. Jika kritik dibungkam dengan kalimat pseudo-etis seperti “jangan meludahi tempatmu bekerja,” maka tempat kerja itu akan tumbuh menjadi tempat yang steril dari perubahan dan penuh dengan pembenaran diri.

Mungkin sudah saatnya kita redefinisi “ludah” itu sendiri. Dalam dunia yang bebas berekspresi dan berani mengevaluasi diri, ludah bukanlah sekadar simbol penghinaan. Ia bisa juga menjadi metafora dari sesuatu yang perlu dimuntahkan agar tidak terus membusuk di dalam. Kadang, sistemlah yang layak untuk dibersihkan, bukan individu yang memilih berbicara jujur setelah keluar darinya.

Dalam lanskap kerja modern yang kerap mengklaim dirinya progresif dan inklusif, kita justru menyaksikan kebudayaan bisu yang kian menguat. Budaya "jangan banyak omong kalau masih makan di sini" atau versi intelektual palsunya: “jangan meludahi tempatmu bekerja.” Ini adalah mantra yang, sayangnya, lebih sering dipakai untuk membungkam ketidaknyamanan daripada untuk menegakkan etika profesional.

Ironisnya, frasa tersebut tidak sekadar menjadi peringatan. Ia telah menjelma menjadi semacam moralitas semu yang memaksa seseorang untuk menjaga ilusi harmoni, bahkan ketika harmoni itu dibangun di atas rasa takut, kepura-puraan, dan pelapisan luka. Siapa pun yang memilih jujur, apalagi setelah keluar dari sistem, langsung dianggap tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih, atau dalam istilah yang lebih kasual—"meludah ke piring sendiri."

Tapi mari kita pertanyakan ulang: sejak kapan kebenaran harus ditunda sampai pensiun?

Dan jika seseorang berbicara tentang kebobrokan setelah keluar dari tempat kerjanya, mengapa kita lebih sibuk mempermasalahkan waktu dia berbicara, ketimbang isi pembicaraannya?

Jika memang kritik itu valid, seharusnya kita menyambutnya sebagai cermin kolektif. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: kritik dikubur dengan tuduhan personal, dan si pemberi kritik dijadikan bahan studi kasus tentang "orang yang tidak tahu diuntungkan oleh sistem." Padahal dalam banyak kasus, kritik yang datang setelah seseorang lepas dari sistem justru adalah bentuk kejujuran paling murni—karena ia tidak lagi dibungkam oleh ketergantungan ekonomi atau kekuasaan simbolik.

Kritik, dalam bentuk apapun, bukanlah tanda pengkhianatan. Ia adalah proses penjernihan. Dan mereka yang takut pada kritik sejatinya sedang takut pada dirinya sendiri. Takut melihat bayangan sistem yang mereka bela, yang ternyata tidak sebersih yang mereka kira.

Seseorang yang keluar dari tempat kerja lalu menuturkan pengalaman-pengalaman yang dulu tak sempat dikatakan bukan sedang meludahi masa lalu, melainkan sedang menata ulang narasi. Menyusun ulang sejarah yang selama ini hanya ditulis oleh para pemenang atau para penikmat status quo. Kita harus akui, sistem kerja yang sehat tidak membutuhkan kultus loyalitas bisu. Ia butuh partisipasi kritis, bahkan jika itu datang dalam bentuk suara sumbang.

Namun mengapa banyak orang tetap memilih diam? Karena mereka tahu bahwa kritik, betapapun konstruktifnya, akan ditafsirkan sebagai pelanggaran moral. Mereka tahu bahwa sistem telah menciptakan kontrak sosial tak tertulis: jika kau ingin aman, maka bersikaplah manis. Jadilah cermin, bukan jendela. Refleksikan apa yang diinginkan atasanmu, bukan apa yang kau yakini benar.

Dan ketika seseorang memilih menjadi jendela—memberi pandangan ke luar, ke realitas yang berbeda, ke sisi gelap yang tak ingin dilihat—maka ia dianggap pengganggu. Ludah adalah label yang dilekatkan untuk menjauhkan pendengar dari pesan. Karena jika pesan itu didengar, dan ternyata benar, maka seluruh kenyamanan yang dibangun di atas kebohongan akan runtuh. Maka lebih mudah membunuh karakter sang pengkritik, daripada memperbaiki sistem.

Inilah wajah baru ketakutan dalam dunia kerja. Ketakutan yang tidak lagi ditandai dengan ancaman langsung, melainkan melalui frasa-frasa elegan yang menggantikan perintah menjadi semacam "nasihat spiritual." Seolah-olah tidak mengkritik itu adalah bentuk kedewasaan. Padahal, sering kali itu hanyalah bentuk dari kepengecutan kolektif yang dilestarikan dengan senyum ramah dan coffee break mingguan.

Seseorang yang pernah berada dalam sistem lalu berkata jujur tentang pengalaman buruknya tidak sedang meludah, ia sedang mencuci tangan dari dosa struktural yang ia sadari terlalu lama ditoleransi. Barangkali, justru mereka yang tetap diamlah yang secara tak sadar sedang meludahi masa depan—karena menolak memperbaiki masa kini.

Tidak ada tempat kerja yang sempurna. Itu kita tahu bersama. Tapi ketika seseorang menunjukkan ketidaksempurnaan itu, dan kita meresponsnya dengan frasa “jangan meludahi tempatmu bekerja,” maka kita sesungguhnya sedang menolak pertumbuhan. Kita lebih memilih nostalgia daripada kemajuan. Lebih mencintai mitos daripada realitas.

Yang kita butuhkan bukanlah lebih banyak kesetiaan bisu, tetapi keberanian untuk mencintai kebenaran—meski menyakitkan. Karena pada akhirnya, hanya dengan cinta semacam itu, sistem kerja bisa benar-benar menjadi tempat tumbuh, bukan hanya tempat bertahan.

Yang menarik dari fenomena ini adalah bagaimana frasa “jangan meludahi tempatmu bekerja” berfungsi sebagai semacam pemurni moral: ia tampak seperti kebijaksanaan, tapi sejatinya hanyalah alat kontrol. Dalam bentuknya yang paling halus, ia mengandaikan bahwa seseorang, sekali mendapatkan manfaat dari suatu sistem, harus mengunci mulutnya dari segala kritik terhadap sistem itu, betapa pun rusaknya ia. Seakan-akan pengalaman baik yang pernah diterima adalah surat utang moral seumur hidup, yang tak boleh dibayar dengan kejujuran.

Apakah manusia tidak berhak berkembang? Apakah seseorang harus terus memelihara citra baik sebuah tempat kerja demi menjaga kenyamanan kolektif yang dibangun dari represi? Jika demikian, maka kita sedang menegakkan budaya feodal dalam wajah modern.

Perlu dicatat: loyalitas sejati bukanlah diam. Loyalitas yang mencintai dengan dewasa tahu bahwa kritik adalah bagian dari tanggung jawab. Seperti orang tua yang menegur anaknya bukan karena benci, tetapi karena ingin melihatnya tumbuh lebih baik. Tapi sayangnya, banyak institusi—baik publik maupun privat—lebih memilih dipuji oleh orang yang tidak jujur daripada ditegur oleh mereka yang benar-benar peduli.

Kita hidup dalam zaman yang aneh. Di satu sisi, kita diagungkan untuk menjadi pribadi yang otentik, jujur, dan reflektif. Tapi di sisi lain, kejujuran itu sendiri dibatasi oleh sensitivitas palsu bernama "jangan membuka aib institusi." Seakan-akan kebenaran itu bisa menjadi tidak etis hanya karena waktu dan tempat penyampaiannya tidak sesuai dengan keinginan atasan.

Padahal, siapa yang bisa menjamin bahwa suara-suara kecil yang jujur dan tajam itu bukan benih dari perbaikan? Mungkin mereka bukan pengkhianat, melainkan pelopor. Mungkin mereka bukan tukang ludah, melainkan pengingat bahwa sistem tidak boleh terus dibebaskan dari kritik hanya karena merasa telah memberi gaji.

Bayangkan jika semua mantan karyawan suatu institusi hanya mengucapkan kata-kata manis karena takut dianggap “meludahi.” Kita akan hidup dalam museum besar yang dipenuhi oleh potret-potret palsu: semuanya tersenyum, semuanya puas, semuanya bersyukur—meskipun di balik senyum itu, banyak luka yang belum terobati, banyak suara yang diredam, dan banyak ketidakadilan yang dibungkam.

Bahkan dalam dunia akademik, tempat yang seharusnya paling terbuka pada kritik, kita melihat bagaimana frasa itu tumbuh subur. Ketika seorang akademisi muda mulai menyuarakan kegelisahannya tentang budaya kerja yang toksik, birokrasi yang membusuk, atau relasi kuasa yang tak sehat, maka dengan cepat muncul senior yang mengingatkan: “Jangan meludahi tempat yang membesarkanmu.”

Seakan-akan intelektualitas tidak punya tempat ketika mulai menyentuh kenyataan yang tidak nyaman. Seakan-akan pencapaian akademis hanya boleh digunakan untuk memoles reputasi institusi, bukan untuk menyelidiki boroknya. Dan akhirnya, kita pun melahirkan generasi peneliti yang pandai menulis jurnal, tapi gagap ketika harus mengkritisi ruang kerja mereka sendiri. Mereka dibentuk untuk menjadi pintar, tapi tidak kritis.

Dan ini bukan hanya terjadi di kampus. Di dunia korporat, budaya semacam ini bahkan lebih mengakar. Ketika seseorang resign dan berbicara tentang tekanan kerja yang tidak manusiawi, atasan yang manipulatif, atau sistem target yang membunuh kesehatan mental, maka komentar pertama yang muncul di kolom media sosialnya biasanya bukan: “Terima kasih telah menyuarakan hal ini,” tetapi: “Kenapa baru ngomong sekarang?” atau “Kamu bisa sukses sekarang juga karena dulu kerja di sana.” Ini bentuk gaslighting kolektif yang dilegalkan atas nama sopan santun.

Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan dari budaya ini? Sudah tentu bukan para pekerja, bukan para pendatang baru, bukan mereka yang berada di bawah. Yang paling diuntungkan adalah mereka yang sudah lama nyaman di singgasana kekuasaan, yang tidak ingin diganggu oleh kejujuran orang lain. Mereka inilah yang akan terus mengulang frasa “jangan meludahi tempatmu bekerja” seperti mantra perlindungan diri.

Padahal jika kita cermati, frasa itu hampir tidak pernah diucapkan dari posisi kesetaraan. Ia selalu datang dari atas—dari yang lebih senior, dari yang lebih mapan, dari yang lebih kuat. Ia bukan himbauan moral, melainkan penegasan posisi. Ia berkata: “Kau boleh keluar, tapi tetap tunduk.” Ia seperti tali tak terlihat yang tetap mengikat seseorang meski kakinya sudah melangkah ke luar pintu.

Ini adalah bentuk baru dari perbudakan ideologis. Kita tidak lagi diikat oleh kontrak fisik, tapi oleh norma sosial yang tidak adil. Kita dipaksa merasa bersalah karena jujur. Dan itu adalah bentuk kekejaman yang paling halus.

Kalau begitu, apakah semua kritik pasca-resign itu valid? Tentu tidak. Tapi ketakutan kita untuk menyaring kritik telah membuat kita menutup diri dari kemungkinan perbaikan. Kita terlalu sibuk menilai siapa yang berbicara, sampai lupa mendengarkan apa yang dikatakannya. Kita terlalu cepat menghakimi motif, sebelum menimbang isi.

Barangkali, inilah saatnya untuk menanggalkan kebiasaan mengejar harmoni semu. Barangkali, kita perlu membuka ruang bagi orang-orang yang berani bicara jujur, walau terlambat, walau dengan marah, walau dengan suara yang pecah. Karena perubahan tidak selalu datang dari ruang rapat, kadang ia lahir dari seseorang yang memilih untuk tidak diam lagi.

Dan jika perubahan itu butuh “ludah” untuk membersihkan ilusi yang menempel di wajah institusi, maka biarkanlah. Ludah bukan simbol kebencian. Ia bisa juga menjadi simbol kesadaran. Kesadaran bahwa kita tidak bisa mencintai sesuatu tanpa berani mengoreksinya.

Ada satu kecenderungan manusia yang perlu dicermati dalam perbincangan ini: ketakutan terhadap disonansi. Kita cenderung ingin dunia kita konsisten, stabil, bebas dari kontradiksi yang mengganggu kenyamanan batin. Maka ketika seseorang bicara buruk tentang tempat kerjanya yang dulu, khususnya setelah ia tak lagi menjadi bagian dari sistem itu, kita merasa terusik. Kita mulai bertanya-tanya, apakah selama ini kita hidup dalam kebohongan? Apakah tempat yang kita anggap sebagai rumah justru telah menciptakan trauma bagi orang lain?

Dan seperti biasa, alih-alih menghadapinya dengan keberanian moral, kita memilih mekanisme pertahanan: menyalahkan si pembicara. Kita mencapnya sebagai "tidak tahu terima kasih," sebagai "pengkhianat," sebagai "orang yang pahit karena gagal." Semua label ini adalah cara kita menenangkan diri. Cara kita mengatakan: “Bukan tempat kerjaku yang salah, dia saja yang lemah.”

Padahal mungkin si pembicara bukan pahit, tapi sadar. Bukan dendam, tapi jujur. Mungkin dia hanya sedang memberanikan diri menuturkan hal-hal yang selama ini kita tahu, tapi terlalu takut untuk ucapkan.

Fenomena ini menjelaskan mengapa banyak ruang profesional menjadi stagnan. Ketika setiap kritik dibungkam dengan frasa “jangan meludahi tempatmu bekerja,” maka sistem akan berhenti berefleksi. Ia akan merasa selalu benar, selalu layak dipertahankan, dan selalu menjadi pahlawan dalam narasi kolektif. Tidak ada ruang bagi introspeksi, karena kritik dianggap ancaman, bukan peluang.

Dan parahnya lagi, sistem seperti ini kerap kali membungkus dirinya dengan jargon-jargon indah: “kami mendukung keterbukaan,” “kami mendorong evaluasi berkelanjutan,” “kami adalah institusi pembelajar.” Tapi pada praktiknya, siapa pun yang membuka luka justru dianggap pembuat gaduh. Siapa pun yang menantang narasi resmi dianggap tidak loyal.

Inilah kemunafikan struktural yang dibungkus dengan estetika profesionalisme. Lembaga-lembaga besar dengan tagline perubahan, tapi alergi terhadap suara-suara kecil yang berani jujur. Mereka hanya mau mendengar kritik jika dibalut dengan bahasa manajemen yang sopan dan tidak menyentuh akar masalah. Kritik boleh, tapi hanya jika ia bersifat kosmetik. Tidak menyentuh kuasa. Tidak menyentuh ketimpangan. Tidak menyentuh ketidakadilan yang sudah mengeras jadi budaya.

Sebab itu, kita harus berhenti mengkultuskan kesetiaan. Apalagi kesetiaan yang dituntut dari orang-orang yang tidak lagi berada dalam sistem. Karena sejatinya, kesetiaan tidak bisa dipaksa. Dan lebih penting lagi, kesetiaan tidak boleh menjadi alat pembungkam. Tidak semua orang yang memilih untuk bicara setelah pergi adalah musuh. Mungkin, justru merekalah sahabat terbaik sistem itu—karena mereka tidak membiarkan sistem itu terus-menerus hidup dalam kepalsuan.

Kita juga perlu memahami bahwa waktu seseorang memilih untuk bicara bukanlah indikator moral. Kadang, orang baru bisa jujur setelah keluar dari tekanan. Baru bisa menuturkan kebenaran setelah bebas dari ancaman. Kita tidak boleh meminta keberanian dari orang yang masih berada dalam cengkeraman. Kadang, diam saat di dalam bukan berarti setuju. Dan berbicara saat di luar bukan berarti membenci. Kadang, itu hanya soal ruang dan waktu yang lebih aman.

Sayangnya, banyak yang terlalu cepat menuduh motif tanpa melihat konteks. Kita menyebut kritik sebagai ludah bukan karena ia benar-benar menjijikkan, tapi karena kita tidak siap menerima bahwa institusi yang kita bela, yang kita pertahankan, yang kita anggap rumah—ternyata punya sisi gelap.

Mungkin di sinilah titik persoalan terbesar dari frasa “jangan meludahi tempatmu bekerja.” Ia mengandung pengingkaran kolektif. Ia adalah bentuk paling halus dari pembelaan diri, sekaligus bentukpaling berbahaya dari penyangkalan atas kenyataan. Karena ia membuat kita lebih peduli pada citra daripada esensi. Lebih peduli pada nama baik institusi, daripada nasib orang-orang yang menderita di dalamnya.

Betapa sering kita melihat orang yang berbicara jujur tentang toxic work culture, pelecehan, eksploitasi, atau ketimpangan struktural, justru dijauhi oleh teman-temannya sendiri. Bukan karena mereka tak percaya pada ceritanya, tapi karena mereka tak ingin dianggap ikut meludah. Karena dalam sistem ini, solidaritas pada yang bersuara dianggap dosa. Diam adalah keselamatan.

Maka jadilah kita kumpulan manusia yang saling menyapa dengan senyum, tapi menyimpan resah. Yang saling berkata “aku bangga pernah bekerja di sana,” meski dalam hati tahu bahwa tempat itu telah mengiris kemanusiaan kita. Kita lebih memilih hidup dalam nostalgia palsu, ketimbang menghadapi kenyataan yang menyakitkan.

Namun siapa yang bisa tumbuh dari kepalsuan? Institusi yang takut pada kritik bukanlah institusi yang kuat. Dan orang yang melabeli kejujuran sebagai “ludah” bukanlah penjaga etika, melainkan penjaga ilusi. Mereka bukan pelindung kehormatan institusi, melainkan pelindung egonya sendiri yang merasa terganggu oleh keberanian orang lain.

Lalu apa yang seharusnya kita katakan pada orang yang berbicara tentang luka masa lalunya di tempat kerja? Kita seharusnya mendengar, bukan menghakimi. Kita seharusnya bertanya, bukan menuduh. Kita seharusnya mengajak berdialog, bukan menempelkan label “pembenci” atau “pengkhianat.”

Karena dengan membuka ruang itu, kita sedang memberi tempat bagi pertumbuhan. Bagi perbaikan. Bagi kemungkinan-kemungkinan baru yang tidak dibungkam oleh ketakutan kolektif. Kita sedang membiarkan sistem itu berkembang, bukan membusuk dalam keheningan.

Dan barangkali, satu hari nanti, frasa “jangan meludahi tempatmu bekerja” bisa kita ubah menjadi sesuatu yang lebih dewasa, lebih bijak: “Bicaralah tentang pengalamanmu. Kami akan mendengarkan, meskipun itu menyakitkan.”

Di akhir dari semua ini, kita perlu kembali bertanya: dari mana datangnya anggapan bahwa bersuara kritis adalah bentuk pengkhianatan? Mengapa kita lebih takut pada suara kejujuran daripada pada kebusukan yang disembunyikan? Dan lebih jauh lagi, bagaimana kita bisa menyebut diri sebagai makhluk berpikir—homo sapiens—jika kita sendiri menolak berpikir kritis terhadap ruang yang telah membentuk kita?

Seakan-akan, ada syarat tak tertulis bahwa bila kita pernah dibayar oleh suatu institusi, maka kita harus menutup mata terhadap cacatnya. Ini bukan loyalitas, ini feodalisme yang dibungkus rasa malu. Dan rasa malu ini bukan karena kita pernah salah, tapi karena kita tidak mau mengakui bahwa tempat yang pernah kita bela juga bisa menyakitkan orang lain.

Bayangkan jika semua tokoh perubahan dalam sejarah mengikuti prinsip “jangan meludahi tempat yang membesarkanmu.” Maka tidak akan ada pergerakan. Tidak ada revolusi. Tidak adapembaruan. Para pemikir besar akan tetap diam demi menjaga rasa hormat palsu terhadap sistem yang membentuk mereka. Martin Luther King Jr. tidak akan mengkritik negaranya. Kartini tidak akan menulis surat-surat kegelisahannya. Galileo akan patuh pada gereja dan diamkan hasil pengamatannya.

Tapi sejarah selalu berpihak pada yang berani. Bukan karena mereka selalu benar, tapi karena mereka memilih untuk tidak diam. Mereka sadar bahwa cinta sejati tidak datang dari pujian semu, tapi dari keberanian untuk menunjukkan bahwa yang dicintai bisa lebih baik—dan karena itu, harus dikritik.

Mereka juga paham bahwa pengalaman kerja bukanlah perjanjian bisu. Bahwa menerima gaji bukan berarti menjual kejujuran. Bahwa penghormatan tidak bisa dipaksakan lewat rasa bersalah. Bahwa integritas bukan tentang menyembunyikan luka, tapi tentang memaparkannya agar tak lagi menyakiti yang lain.

Justru di sinilah nilai seorang profesional: bukan dalam kepatuhannya, melainkan dalam kebebasannya untuk menyuarakan apa yang selama ini disembunyikan. Karena profesionalisme sejati bukan tentang pencitraan, tapi tentang tanggung jawab moral untuk tidak membiarkan kejahatan berulang di balik senyum perusahaan.

Tentu, suara-suara itu tidak selalu menyenangkan. Terkadang terdengar kasar, emosional, bahkan tampak menyudutkan. Tapi siapa kita yang bisa menuntut seseorang agar merapikan kata-katanya, sementara ia sedang menyusun ulang luka-lukanya? Kita ingin kritik, tapi menuntut agar disampaikan dalam bentuk pamflet seminar. Kita ingin evaluasi, tapi hanya jika dibungkus dengan nada manajemen. Padahal, banyak kejujuran yang hanya bisa keluar setelah melewati kekacauan emosional.

Maka jika seseorang memilih untuk bicara setelah ia keluar dari sistem, mari kita beri ruang. Mungkin dari sana, kita bisa belajar. Kita bisa memperbaiki. Kita bisa memutus siklus. Kita bisa mencegah agar orang lain tidak mengalami luka yang sama.

Dan yang terpenting: kita bisa menciptakan budaya kerja yang lebih sehat—bukan dengan menuntut kesetiaan mutlak, tapi dengan menumbuhkan keberanian kolektif untuk bertanya: “Apakah yang kita jalani selama ini sudah manusiawi?”

Karena pada akhirnya, yang paling manusiawi bukanlah kesunyian yang sopan, tapi keberanian untuk bersuara—walau terlambat, walau dianggap pahit, walau dituding meludah.

Dan kepada mereka yang masih terus mengucap frasa “jangan meludahi tempatmu bekerja” dengan penuh keyakinan, izinkan kami menjawab dengan tenang: barangkali, ini bukan ludah. Ini cermin. Anda hanya belum siap melihat wajah sistem yang selama ini Anda anggap suci.

Tapi suatu hari nanti, ketika kejujuran tak lagi dianggap pengkhianatan, dan kritik tak lagi dianggap luka, mungkin kita bisa berkata bahwa kita telah dewasa—sebagai individu, sebagai masyarakat, dan sebagai peradaban.

Hingga hari itu datang, biarlah kami bicara. Biarlah kami membuka luka. Bukan untuk menciptakan kebencian, tapi untuk membuka kemungkinan baru. Karena dari keberanian untuk berkata jujur—sekecil apa pun—lahirlah peradaban yang lebih baik.

Dan mungkin, satu hari nanti, orang akan menulis ulang frasa lama itu bukan sebagai larangan, tapi sebagai peringatan baru: “Jangan meludahi tempat kerjamu… tapi jangan pula membungkam mereka yang ingin memperbaikinya.”

Posting Komentar

0 Komentar