Urgensi Guru Laki-laki di Boarding School Khusus Laki-laki

Dalam dunia pendidikan Islam, konsep pemisahan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi topik yang penting dan sering dibahas, terutama dalam konteks lembaga pendidikan berasrama atau boarding school. Boarding school yang secara khusus diperuntukkan bagi siswa laki-laki memiliki struktur dan sistem pendidikan yang tidak hanya menekankan pada aspek kognitif, tetapi juga pembentukan karakter, spiritualitas, serta tanggung jawab sosial. Dalam konteks seperti ini, kehadiran guru memiliki peran yang sangat sentral, tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik, pembimbing, dan teladan. Oleh karena itu, pertanyaan mengapa boarding school laki-laki seharusnya memiliki guru yang semuanya laki-laki, tanpa kehadiran guru perempuan, menjadi sangat relevan untuk dikaji dari sudut pandang intelektual Islam.


Dalam Islam, interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram diatur dengan sangat hati-hati. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesucian hati dan mencegah terjadinya fitnah, yakni kondisi yang bisa menggiring pada kemaksiatan atau pelanggaran norma agama. Dalam Al-Qur'an Surah An-Nur ayat 30-31, Allah SWT memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Ayat ini menunjukkan pentingnya menjaga batas-batas interaksi antara laki-laki dan perempuan, terutama ketika mereka berada dalam ruang yang sama untuk waktu yang lama, seperti dalam sistem boarding school. Dalam lingkungan boarding school, siswa dan guru tinggal dalam satu kompleks selama dua puluh empat jam, tujuh hari seminggu. Interaksi yang terjadi bukan hanya dalam kelas, tetapi juga dalam kegiatan sehari-hari, pembinaan rohani, olahraga, makan bersama, dan sebagainya. Jika dalam lingkungan seperti ini terdapat guru perempuan, maka dikhawatirkan batas-batas syariat bisa dilanggar secara tidak sadar karena intensitas dan kedekatan interaksi yang terjadi.

Lebih jauh, dari sudut pandang pendidikan Islam, sosok guru tidak hanya berfungsi sebagai penyampai materi pelajaran, tetapi juga sebagai figur yang diteladani. Dalam buku Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam karya Abdullah Nasih Ulwan, dijelaskan bahwa anak-anak dan remaja membutuhkan panutan yang konkret dalam kehidupan mereka, khususnya dalam hal moral, akhlak, dan adab. Ketika seorang santri laki-laki menjalani masa pembentukan karakter, ia membutuhkan figur guru yang mencerminkan nilai-nilai keislaman dalam bentuk maskulin. Hal ini tidak berarti bahwa guru perempuan tidak memiliki kualitas keilmuan atau akhlak yang baik, tetapi dalam konteks pembentukan jati diri laki-laki, keteladanan dari sosok guru laki-laki menjadi lebih relevan dan efektif. Seorang guru laki-laki dapat memperlihatkan bagaimana bersikap tegas, berani, bertanggung jawab, serta memiliki peran sebagai pemimpin dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Keteladanan ini akan lebih mudah ditangkap oleh siswa laki-laki karena adanya kesamaan gender dan pengalaman hidup.

Aspek psikologi perkembangan juga memberikan dasar yang kuat dalam mendukung pentingnya kehadiran guru laki-laki di boarding school khusus laki-laki. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, di mana terjadi perubahan besar dalam aspek fisik, emosional, dan sosial. Remaja laki-laki pada masa ini mengalami gejolak hormonal yang memengaruhi cara mereka berpikir, merasa, dan bertindak. Mereka mulai mencari jati diri, ingin mendapatkan pengakuan, serta mulai tertarik secara seksual terhadap lawan jenis. Dalam fase ini, kehadiran figur perempuan yang dominan, meskipun dalam kapasitas sebagai guru, dapat memicu ketertarikan emosional atau bahkan syahwat yang tidak sehat. Hal ini bukan berarti bahwa guru perempuan akan menggoda siswa, tetapi lebih pada kodrat manusia dan kondisi psikologis remaja yang rentan terhadap rasa kagum, tertarik, atau bahkan jatuh hati kepada figur dewasa yang sering mereka temui.

Fenomena transfer emosional atau emotional transfer adalah hal yang umum dalam dunia pendidikan. Siswa bisa merasa sangat dekat dan terhubung secara emosional dengan guru mereka, apalagi jika guru tersebut sering memberikan perhatian, nasihat, dan pendampingan. Dalam konteks ini, seorang siswa laki-laki bisa merasa sangat dekat secara emosional dengan guru perempuan yang mengajar dan membimbing mereka setiap hari. Kedekatan ini, jika tidak dikelola dengan benar dan sesuai syariat, bisa menimbulkan perasaan yang melampaui batas antara murid dan guru. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam yang ingin menjaga kesucian hati, pikiran, dan hubungan antar manusia dalam koridor yang diridhai oleh Allah SWT.

Dari sudut pandang sejarah, banyak lembaga pendidikan Islam klasik seperti pesantren tradisional di Nusantara, madrasah-madrasah di dunia Arab, maupun zawiyah di Afrika Utara, yang menerapkan sistem segregasi gender secara ketat. Para ulama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal mendapatkan pendidikan dalam lingkungan yang homogen secara gender. Bahkan, ketika mereka sudah dewasa pun, interaksi dengan lawan jenis dalam konteks keilmuan dilakukan dengan sangat hati-hati, melalui hijab atau perantara. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip menjaga adab interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan sudah menjadi bagian dari tradisi intelektual Islam sejak dahulu.

Dalam konteks boarding school modern, tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Dunia digital, media sosial, dan arus informasi yang sangat cepat membuat remaja laki-laki lebih rentan terhadap gangguan visual dan emosional. Jika di dalam lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan steril dari godaan syahwat masih ditemukan interaksi intensif dengan guru perempuan, maka benteng perlindungan moral tersebut bisa menjadi rapuh. Padahal, salah satu keunggulan sistem boarding school adalah kemampuannya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan karakter dan spiritualitas secara intensif. Oleh karena itu, menjaga agar lingkungan tersebut tetap konsisten dengan nilai-nilai syariat adalah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh para pengelola lembaga pendidikan.

Di sisi lain, perlu juga dilihat dari perspektif manajerial dan profesionalisme guru. Kehadiran guru laki-laki dalam boarding school laki-laki juga menciptakan efisiensi dalam sistem pengawasan dan pembinaan. Guru laki-laki bisa dengan leluasa masuk ke asrama, kamar mandi, ruang tidur siswa, atau tempat-tempat yang bersifat privat lainnya jika terjadi keadaan darurat atau perlu pembinaan langsung. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh guru perempuan karena akan melanggar norma kesopanan dan syariat. Selain itu, komunikasi antara guru dan siswa bisa dilakukan dengan lebih terbuka dan jujur ketika keduanya memiliki kesamaan gender, karena ada pemahaman yang lebih dalam terhadap cara berpikir, merespons masalah, dan dinamika kejiwaan satu sama lain.

Dalam konteks fiqih tarbawi, pemilihan guru berdasarkan kesesuaian gender dengan peserta didik merupakan bentuk sadd al-dzari’ah, yaitu menutup jalan-jalan yang bisa mengarah kepada kerusakan atau pelanggaran hukum. Meskipun pada dasarnya mengajar adalah aktivitas yang mulia dan bisa dilakukan oleh siapa saja yang berilmu, namun dalam kondisi tertentu, dibolehkan bahkan diwajibkan untuk membatasi partisipasi seseorang demi kemaslahatan yang lebih besar. Dalam hal ini, mencegah kemungkinan munculnya fitnah, menjaga adab dan batasan interaksi, serta menciptakan lingkungan pendidikan yang steril dari potensi godaan, adalah bagian dari maslahat yang harus dikedepankan.

Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa urgensi guru laki-laki di boarding school laki-laki bukan berarti merendahkan kapasitas atau peran guru perempuan secara umum. Islam sangat menghargai ilmu dan para pengajarnya, baik laki-laki maupun perempuan. Sejarah mencatat banyak perempuan ulama yang menjadi rujukan dalam ilmu hadits, fiqih, tafsir, dan bidang lainnya, seperti Aisyah binti Abu Bakar, Ummu Darda, dan lain-lain. Namun, penempatan mereka dalam sistem pendidikan tetap mengikuti kaidah-kaidah syar’i dan mempertimbangkan kondisi psikologis serta sosial peserta didik.

Dengan demikian, penegasan bahwa boarding school laki-laki idealnya diampu oleh guru laki-laki sepenuhnya bukanlah bentuk diskriminasi gender, tetapi strategi pendidikan Islam yang berbasis pada nilai-nilai syariat, psikologi perkembangan, serta efektivitas pembelajaran. Lingkungan yang terjaga dari potensi fitnah, adanya figur keteladanan yang sejalan dengan jati diri siswa, serta konsistensi dalam implementasi nilai-nilai Islam menjadi fondasi utama dalam mewujudkan lembaga pendidikan yang benar-benar mencetak generasi rabbani, berilmu, berakhlak, dan bertanggung jawab. Maka dari itu, penting bagi seluruh pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan Islam untuk memahami prinsip ini secara komprehensif dan menerapkannya dengan kesungguhan serta penuh keikhlasan demi membentuk peradaban Islam yang mulia melalui generasi yang tangguh dan bermartabat.

Posting Komentar

0 Komentar