Selama Kaya itu Kamu Lihat dari Harta, Bukan Berasal Dari Ilmu. Negara Tidak Akan Pernah Maju.

Dalam sejarah panjang peradaban manusia, pengertian tentang kekayaan telah menjadi medan perdebatan dan pemaknaan ulang yang tidak pernah selesai. Di satu sisi, kekayaan kerap dikaitkan dengan akumulasi materi, terutama uang. Di sisi lain, ada pandangan yang menempatkan kekayaan sebagai pencapaian intelektual, moral, atau spiritual. Di Indonesia, kecenderungan untuk mengidentifikasi kekayaan secara eksklusif dengan harta benda tampaknya telah mengakar begitu dalam. Pernyataan “Selama yang kamu anggap kaya adalah yang punya banyak uang, bukan yang kaya adalah ilmu. Selama itu pula negara ini ga akan maju,” menjadi sebuah kritik tajam terhadap arah dan nilai dasar bangsa ini. Pernyataan tersebut bukan sekadar sindiran sosial, melainkan sebuah seruan epistemologis dan etis: sudah saatnya kita mengoreksi arah kebudayaan kita dan menilai ulang parameter keberhasilan sebuah bangsa.


Apabila kita tilik secara historis, bangsa-bangsa besar dalam sejarah seperti Yunani Kuno, Dinasti Abbasiyah di Timur Tengah, atau Dinasti Tang di Tiongkok, menjadikan ilmu pengetahuan sebagai tolok ukur kekayaan sejati. Aristoteles, Plato, dan Socrates tidak memiliki kekayaan materi seperti para raja, namun pemikiran mereka bertahan ribuan tahun dan mewariskan fondasi filsafat dan logika bagi dunia. Di Baghdad pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, perpustakaan Bayt al-Hikmah menjadi pusat dunia karena kehausan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan. Di Tiongkok, para cendekiawan Konfusianis lebih dihormati daripada para pedagang karena dianggap sebagai pemelihara moral dan pengetahuan.

Namun ketika kita melihat Indonesia hari ini, narasi besar tersebut seperti terbalik. Ketika seorang anak ditanya ingin jadi apa kelak, jawaban yang ideal adalah “yang bisa cepat kaya.” Pilihan profesi pun diseleksi berdasarkan kemungkinan pendapatan, bukan kontribusi pada ilmu atau masyarakat. Menjadi peneliti, guru, dosen, atau filsuf dianggap tidak menjanjikan, karena penghasilan mereka kecil. Ini bukan semata-mata kesalahan individu, tetapi gejala struktural yang merefleksikan krisis nilai dalam masyarakat. Ketika televisi dan media sosial lebih banyak menampilkan pesohor karena kemewahan gaya hidup mereka, alih-alih intelektual karena ketajaman pikirannya, maka kita sedang menyaksikan degradasi kolektif terhadap nilai ilmu itu sendiri.

Ada sebuah ilusi sosial yang memabukkan: bahwa uang menyelesaikan segalanya. Padahal, uang hanyalah alat, bukan tujuan. Ketika uang menjadi tujuan utama dalam hidup, maka masyarakat akan kehilangan orientasi terhadap makna. Mereka tidak lagi belajar karena ingin tahu, melainkan karena ingin ijazah dan pekerjaan bergaji tinggi. Mereka tidak lagi membaca untuk memperluas wawasan, tetapi demi mencontek jawaban ujian. Mereka tidak berinovasi karena ingin menyelesaikan masalah, tetapi karena ingin paten dan royalti. Di sinilah letak bahaya dari persepsi kekayaan yang terdistorsi. Bangsa ini, jika tidak segera membalikkan arah paradigma, hanya akan menjadi masyarakat konsumtif yang miskin secara spiritual dan intelektual.

Kemajuan bangsa tidak pernah lahir dari kekayaan materi semata. Negara-negara Skandinavia seperti Finlandia, Norwegia, dan Swedia, memiliki tingkat kesejahteraan tinggi bukan karena kekayaan alam mereka, melainkan karena sistem pendidikan dan penghargaan terhadap ilmu yang luar biasa. Di Finlandia, guru adalah profesi yang paling dihormati dan melalui seleksi ketat. Budaya membaca di sana menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal yang sama berlaku di Jepang pascaperang dunia kedua. Negara yang luluh lantak karena bom atom itu membangun kembali dirinya melalui investasi pada pendidikan, riset, dan inovasi. Hari ini Jepang menjadi salah satu negara dengan paten teknologi terbanyak di dunia. Apakah mereka hanya menumpuk uang? Tidak. Mereka menumpuk pengetahuan.

Konsepsi bahwa ilmu adalah kekayaan sejati seharusnya menjadi fondasi pembangunan bangsa. Namun kenyataannya, belanja riset dan pengembangan di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan berbagai laporan internasional, anggaran untuk R&D Indonesia bahkan jauh di bawah standar rata-rata global. Banyak ilmuwan dan peneliti kita harus berjuang dengan minimnya dana, tidak jarang akhirnya memilih untuk hijrah ke luar negeri demi pengakuan dan dukungan yang layak. Di dalam negeri, penghargaan terhadap karya ilmiah tidak setimpal. Seminar-seminar ilmiah sepi, perpustakaan terbengkalai, jurnal ilmiah tidak dibaca kecuali oleh akademisi yang terpaksa melakukannya untuk kenaikan pangkat.

Budaya ilmiah memerlukan ekosistem yang sehat. Artinya, tidak cukup hanya dengan menyuruh anak muda “rajin belajar.” Kita harus menciptakan lingkungan di mana ilmu dihormati, diskusi dipelihara, dan perbedaan pandangan dianggap sebagai peluang tumbuh, bukan sebagai ancaman. Jika pemikiran kritis dimatikan karena dianggap tidak sopan terhadap kekuasaan, jika karya ilmiah dimanipulasi demi memenuhi target administratif, dan jika guru atau dosen tidak dihargai secara ekonomi maupun sosial, maka kita sedang membunuh semangat intelektual bangsa dari akarnya sendiri.

Lebih jauh lagi, krisis makna tentang kekayaan juga berdampak pada kebijakan publik. Ketika pemimpin-pemimpin bangsa lebih tertarik pada pertumbuhan ekonomi kuantitatif—angka-angka PDB, investasi asing, atau proyek infrastruktur raksasa—namun mengabaikan kualitas pendidikan, etika sosial, dan kemajuan ilmu pengetahuan, maka pembangunan hanya akan melahirkan kehampaan. Kita bisa membangun gedung-gedung pencakar langit, namun jika isinya adalah generasi yang miskin daya pikir dan kepekaan sosial, maka bangunan itu tidak memiliki jiwa. Ia hanya monumen egoisme kolektif tanpa arah.

Apa yang kita butuhkan sekarang adalah perubahan paradigma secara kolektif. Kita harus menggeser persepsi tentang kekayaan dari sesuatu yang bersifat materi menuju sesuatu yang lebih substantif. Ilmu harus menjadi komoditas paling berharga dalam masyarakat. Seorang ilmuwan seharusnya mendapatkan tempat terhormat seperti halnya pengusaha sukses. Seorang guru seharusnya diperlakukan sebagai penjaga peradaban, bukan sebagai pelengkap administratif. Seorang penulis, filsuf, atau pemikir seharusnya diberi ruang dan panggung, bukan dibungkam karena pandangan kritis mereka.

Kita juga harus berani menyentuh akar pendidikan sejak dini. Sekolah bukan hanya tempat transfer pengetahuan, tetapi tempat pembentukan karakter dan cara berpikir. Jika dari kecil anak-anak hanya diajarkan untuk patuh dan menghafal, bukan untuk bertanya dan bereksperimen, maka kita sedang mempersiapkan generasi yang lemah dalam menghadapi kompleksitas zaman. Revolusi pendidikan adalah keharusan, bukan pilihan. Namun revolusi ini tidak bisa dilakukan dengan proyek-proyek besar semata, tetapi harus dimulai dari perubahan cara berpikir masyarakat tentang apa arti kaya dan apa arti maju.

Memang benar bahwa dalam sistem dunia modern, uang tetap diperlukan. Ilmu pun tidak bisa berkembang tanpa dukungan finansial. Namun letak masalahnya bukan pada uang itu sendiri, melainkan pada posisi uang dalam hierarki nilai. Uang harus menjadi pelayan ilmu, bukan tuannya. Ketika ilmuwan harus mengemis dana dan pengusaha menjadi penentu kebijakan sains, maka tatanan ini terbalik. Negara maju adalah negara yang tahu menempatkan kekayaan pada tempatnya—yaitu sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa, bukan untuk menindasnya.

Akhirnya, pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama adalah: bangsa seperti apa yang ingin kita wariskan kepada generasi mendatang? Apakah kita ingin dikenang sebagai bangsa yang membangun mal dan jalan tol, tetapi gagal melahirkan pemikir besar? Ataukah kita ingin menjadi bangsa yang mungkin sederhana secara materi, tetapi agung dalam pikiran dan peradaban? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah sejarah kita. Dan sejarah, seperti yang sudah-sudah, tidak pernah berpihak pada bangsa yang hanya mengukur keberhasilan dari tebalnya dompet.

Posting Komentar

0 Komentar