Tanggung Jawab Sepanjang Hayat, Elegi Guru di Hadapan Akad yang Ringkih

Kita hidup di zaman yang sangat menyukai slogan. Kata-kata seperti dedikasi, pengabdian, dan tentu saja, tanggung jawab, menjelma jadi mantra suci yang lebih sering diulang daripada benar-benar dipahami. Di antara profesi-profesi yang paling akrab dengan mantera ini, guru menempati posisi teratas dalam daftar panjang orang-orang yang diminta untuk hidup seperti santo, digaji seperti buruh, dan dinilai seperti dewa. Maka ketika seorang guru memutuskan untuk mundur, barisan komentator moral pun segera berbaris rapi, menudingkan jari telunjuk mereka yang paling tajam, sambil berbisik atau berteriak “Itu namanya tidak bertanggung jawab!”


Oh, sungguh mulia dan dramatis. Seolah-olah tanggung jawab seorang guru lebih suci daripada akad gaji yang ditandatangani di atas kertas yang dicetak oleh printer kantor dengan tinta yang bahkan tidak selalu cukup. Di sini, kita menemukan ironi paling indah dalam tata kelola pendidikan: bahwa meninggalkan pekerjaan disebut sebagai pengkhianatan terhadap murid, sementara mempertahankan martabat pribadi diposisikan sebagai pelanggaran etis. Maka mari kita mulai otopsi intelektual terhadap narasi ini dengan pisau sarkasme yang tajam dan tanpa ampun.

Pertama-tama, mari kita akui sesuatu yang tidak nyaman tapi perlu: bahwa gaji adalah bentuk konkret dari tanggung jawab institusional terhadap tenaga kerja. Ya, gaji. Hal yang dianggap tabu untuk disebut terlalu sering oleh mereka yang menganggap profesi guru adalah panggilan suci, bukan kontrak kerja. Anehnya, mereka ini tidak pernah keberatan ketika staf bank atau teknisi jaringan bicara soal gaji. Tapi ketika seorang guru menyebut soal penghasilan, ia dianggap materialistis, dan mungkin sedikit kurang iman. Bukankah harusnya mengajar adalah ibadah? Bukankah ganjaran utamanya nanti di akhirat?

Ah, betapa efisiennya dunia ketika moralitas bisa digunakan sebagai alat kontrol biaya.

Kemudian datanglah momen ketika seorang guru, lelah dan jenuh, akhirnya memutuskan untuk berhenti. Bukan karena ia membenci murid, bukan pula karena ia kehabisan kasih sayang. Tapi karena tubuhnya lelah, pikirannya penuh, dan akunnya menipis. Namun apa yang didapat? Vonis. Dari rekan sejawat, dari atasan, bahkan dari masyarakat yang bahkan tidak pernah tahu betapa sering guru itu pulang tanpa bisa membeli lauk. "Tidak bertanggung jawab," kata mereka. Karena katanya, mengajar adalah tanggung jawab seumur hidup.

Menarik, bukan? Tanggung jawab abadi ini tidak berlaku untuk manajemen sekolah yang bisa mengganti guru seenaknya, atau untuk pejabat pendidikan yang berganti tiap periode dengan janji yang itu-itu saja. Tanggung jawab ini unik, selektif, dan sangat tajam. Ia hanya berlaku ke bawah. Seorang guru diminta untuk mengabdi selamanya, meski yang dihadapinya terus berubah: kurikulum berganti lebih cepat dari tren TikTok, beban administrasi menumpuk seperti sampah digital, dan ekspektasi publik membumbung tinggi seperti roket buatan Elon Musk.

Dan mari jangan lupakan bonus istimewa: glorifikasi. Guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Kalimat ini begitu sering diucapkan hingga kehilangan makna. Padahal sebenarnya itu hanya cara elegan untuk berkata: "Maaf, kami tidak bisa memberi Anda kehidupan yang layak, tapi tolonglah terus bekerja sebaik mungkin dan jangan mengeluh." Bayangkan jika konsep ini diterapkan ke bidang lain. Bayangkan seorang dokter bedah yang dibayar rendah tapi disebut malaikat penyelamat. Atau pilot yang diharapkan terbangkan pesawat dengan senyum, meskipun honorarium-nya setara sopir ojek. Itu akan terdengar konyol. Tapi untuk guru, entah mengapa, itu dianggap normal.

Tentu, selalu ada pembela narasi ini. Mereka bilang, “Tapi guru itu membentuk masa depan bangsa!” Pernyataan ini benar adanya. Tapi justru karena itu, mengapa kita membiarkan pembentuk masa depan ini bekerja dalam kondisi yang membuat mereka ingin melarikan diri? Apakah tidak ironis bahwa mereka yang dipercaya membentuk karakter generasi mendatang, harus melakukannya sambil menahan lapar, stres, dan beban kerja yang tidak proporsional?

Tapi ironi tidak berhenti di sana. Seringkali, guru yang memilih hengkang justru disebut sebagai tidak peduli pada murid. Padahal, siapa yang paling tahu batas dirinya selain si guru itu sendiri? Apakah lebih bertanggung jawab untuk terus mengajar dalam kondisi burnout, depresi, dan kehilangan motivasi? Atau justru lebih bijak jika ia mundur, memberi ruang bagi yang lebih siap, dan menyelamatkan dirinya dari kehancuran perlahan?

Sungguh, kita begitu nyaman memuja pengorbanan orang lain, terutama jika itu membuat hidup kita sendiri lebih mudah. Kita ingin guru seperti lilin: menyala untuk menerangi, meski harus meleleh dan habis. Tapi sayangnya, lilin yang habis tak bisa menerangi siapa-siapa. Ia hanya jadi sisa lelehan yang dibuang setelah digunakan.

Anehnya, sistem tidak pernah disalahkan. Yang salah selalu individunya. Guru yang mundur? Tidak loyal. Guru yang bicara soal kesejahteraan? Tidak bersyukur. Guru yang menolak beban kerja administratif yang tak relevan? Tidak kooperatif. Dalam sistem ini, kesalahan selalu bersifat personal, bukan struktural. Maka jangan heran jika banyak guru akhirnya memilih diam, atau pergi tanpa pamit.

Dan ketika mereka pergi, publik pun bersedih. "Sayang sekali, padahal beliau guru yang bagus." Ya, tentu saja. Tapi kesedihan itu datang terlambat. Seperti orang yang menangisi pohon tumbang yang selama ini ditebang perlahan tanpa disadari. Pohon itu tumbang bukan karena lemah, tapi karena terus-menerus ditebas dari berbagai sisi: beban kerja, ekspektasi yang tidak realistis, dan penghargaan yang minim.

Lalu, bagaimana seharusnya kita memaknai tanggung jawab guru?

Mungkin sudah waktunya kita mengganti narasi. Tanggung jawab guru bukanlah kontrak spiritual tanpa batas. Ia adalah tanggung jawab profesional yang dimulai dan berakhir bersama akad, sebuah kesepakatan kerja, dengan hak dan kewajiban yang jelas. Guru adalah manusia, bukan nabi. Mereka berhak menentukan arah hidupnya, termasuk kapan harus berhenti. Dan keputusan itu, jika diambil dengan kesadaran dan pertimbangan matang, justru adalah bentuk tertinggi dari tanggung jawab: kepada diri sendiri, kepada murid, dan kepada profesinya.

Karena guru yang baik tahu kapan harus melangkah pergi. Bukan karena mereka tidak peduli, tapi justru karena mereka terlalu peduli untuk tinggal dalam kondisi yang tidak memungkinkan mereka menjadi yang terbaik. Mereka memilih keluar sebelum menjadi buruk. Dan itu, dalam dunia yang sering menyamakan bertahan dengan setia, adalah tindakan yang sangat berani.

Posting Komentar

0 Komentar