Motivasi, kata agung yang kini mengalami penyempitan makna yang luar biasa tragis. Dahulu kala, ia adalah dorongan internal, sejenis api dalam dada yang membuat manusia melintasi gurun pasir, menaklukkan samudera, mendirikan peradaban, atau sekadar bangun pagi tanpa ditarik-tarik oleh suara alarm seperti sapi yang enggan keluar kandang. Namun hari ini, motivasi telah berevolusi, atau lebih tepatnya, membusuk menjadi sekadar kata-kata manis penuh glukosa dari influencer Instagram yang tak pernah bekerja lebih dari mengetik caption “Trust the process” di foto gym mereka.
Mari kita tengok lebih dekat: motivasi, dalam bentuk idealnya, adalah daya dorong internal yang konsisten, rasional, dan penuh kesadaran. Ia bukan sekadar ledakan emosi sesaat setelah menonton video TikTok berjudul “Alpha Mindset 101.” Tapi itulah dia—di era digital ini, motivasi tidak lagi dipandang sebagai buah dari disiplin dan pemahaman diri, melainkan sebagai semacam wahyu instan yang turun dari langit setiap kali Anda membuka YouTube dan melihat seseorang berteriak, “You gotta want it more than you wanna breathe!” sambil menyiram dirinya sendiri dengan air dingin.
Motivasi telah berubah menjadi narkoba mental. Orang-orang kini mengonsumsi motivasi layaknya shot espresso yang mereka butuhkan setiap pagi untuk merasa bahwa hidup ini bermakna, padahal itu hanya perasaan palsu yang bertahan selama 15 menit. Setelah itu, mereka kembali rebahan, scroll TikTok, dan menyalahkan “mental health” sebagai alasan kenapa tugas kuliah belum dikerjakan sejak dua minggu lalu. Ajaib, bukan? Motivasi yang seharusnya membawa perubahan kini menjadi senjata pembenaran untuk tetap stagnan.
Mari kita simak sekelumit dialog klasik:
“Aku belum mood, belum nemu motivasi.”
Ah ya, tentu. Karena rupanya motivasi adalah entitas gaib yang harus ditemukan di bawah batu tertentu di puncak gunung Himalaya. Jika belum ketemu, maka semua bentuk kemalasan dan ketidaktertiban hidup sepenuhnya sah dan dibenarkan. Sungguh paradigma yang sehat.
Motivasi juga telah dijadikan barang dagangan. Self-help books, seminar motivasi, podcast pengembangan diri—semuanya dijual dengan kemasan yang menjanjikan perubahan besar hanya dalam 30 hari, seolah-olah manusia hanyalah software yang perlu update terbaru. Orang-orang berbondong-bondong membeli buku dengan judul bombastis seperti “Hidupmu Berantakan Karena Kamu Tidak Produktif: 7 Cara Menjadi Ultra-Human Dalam Seminggu,” hanya untuk meletakkannya begitu saja di rak setelah membaca pengantar. Tak mengapa, yang penting sudah “berniat.” Karena niat, konon, setara dengan setengah amal. Sayangnya, separuh lagi itu tampaknya menunggu motivasi muncul, dan itu, seperti biasa, tidak pernah terjadi.
Yang lebih lucu lagi adalah fenomena “motivation junkie”—sejenis manusia yang candu pada video motivasi tetapi alergi pada aksi nyata. Mereka tahu nama semua motivator, hafal kutipan dari Will Smith, Steve Jobs, sampai tokoh anime, tetapi tidak pernah sekalipun mengubah jadwal bangun pagi mereka dari jam 11 siang ke jam 7 pagi. Ironis, karena mereka percaya “winners wake up early,” sambil mengetik tweet itu jam 1 dini hari setelah 5 jam nonton Netflix.
Mengapa bisa begini? Mungkin karena motivasi telah dijadikan simbol status. Seseorang dianggap “berprogres” hanya karena dia menyebut dirinya termotivasi. Tak perlu hasil konkret. Tak perlu perubahan sikap. Cukup dengan berkata “aku lagi di fase healing dan growth” dan seluruh dunia akan memaklumi kemalasanmu yang bahkan kucing rumahan pun merasa geli melihatnya.
Sungguh, ini adalah era di mana retorika telah mengalahkan realita. Dimana seseorang bisa menganggap dirinya "berproses" hanya karena menonton konten YouTube berjudul “How to Get Your Life Together” sambil makan keripik dan mengabaikan tumpukan cucian yang sudah berjamur. Ironi yang lebih tajam dari satire klasik. Bahkan Voltaire pun mungkin akan merasa minder.
Dan jangan lupakan kaum “energy-based productivity.” Ini adalah generasi yang hanya akan bekerja ketika energi mereka selaras dengan alam semesta. Jika mereka merasa "energi negatif", maka bekerja adalah bentuk kekerasan terhadap diri sendiri. Bukan malas, tentu saja. Mereka hanya sedang “menjaga kesehatan mental.” Lalu dengan gagah berani, mereka membuka laptop hanya untuk mengetik satu baris di Notion bertuliskan, “Set boundaries with toxic expectations.” Bravo! Satu langkah lebih dekat menjadi CEO startup... di imajinasi.
Fenomena ini tentu tidak datang begitu saja. Ini adalah hasil dari kapitalisme spiritual yang menyesap esensi motivasi, mencampurnya dengan bumbu pseudopsikologi, dan menjualnya kembali dalam bentuk estetika digital: quotes dengan font Helvetica, foto matahari terbit, dan latar musik lo-fi. “Disiplin adalah kekerasan,” kata mereka. “Ikuti arus, trust the universe,” sambungnya. Tapi entah kenapa, arusnya selalu mengarah ke kasur.
Apakah motivasi salah? Tentu tidak. Motivasi adalah alat, bukan tujuan. Tetapi ketika ia dijadikan alasan untuk menunda tindakan, untuk mencari kenyamanan emosional tanpa kerja nyata, maka ia berubah menjadi candu intelektual. Ia memberikan ilusi bahwa kita sedang melangkah maju, padahal kaki kita tidak pernah benar-benar bergerak.
Kita hidup di zaman di mana kegagalan bukanlah akibat dari kurang usaha, tapi dari “kurangnya self-love.” Seolah-olah mencintai diri sendiri adalah dengan memanjakan setiap keinginan tubuh, bukan mengarahkan diri menuju versi yang lebih kuat. Ini adalah dekonstruksi makna yang sangat kreatif. Motivasi yang seharusnya membuat seseorang bangkit dari keterpurukan justru menjadi tempat pelarian agar tak perlu menghadapi kenyataan.
Realitanya sederhana: sebagian besar dari kita tidak butuh motivasi. Kita butuh paksaan. Kita butuh ketegasan dari dalam diri. Kita butuh malu. Ya, malu karena sudah terlalu lama menjadikan motivasi sebagai tameng dari kemalasan. Malu karena lebih mengenal “mantra-mantra motivasi” daripada batas waktu pekerjaan. Malu karena lebih tahu karakteristik zodiak daripada isi kontrak kerja.
Ironisnya, semakin banyak kita bicara tentang motivasi, semakin sedikit yang benar-benar termotivasi. Mengapa? Karena berbicara tentang motivasi memberikan perasaan seolah-olah kita sedang produktif. Padahal tidak ada yang berubah. Kita hanya memindahkan eksistensi kita ke dalam bahasa. Kata-kata, bukan aksi. Dan itu adalah penyakit paling halus dari zaman ini—bersembunyi dalam narasi, tapi takut pada realitas.
Bayangkan seorang petani di desa yang bangun jam 4 pagi untuk mencangkul sawah, membawa cangkul berat, bekerja sampai matahari berada tepat di atas kepala. Ia tak pernah membaca buku motivasi. Ia bahkan mungkin tidak tahu apa itu TED Talk. Tapi ia bekerja. Karena hidupnya bergantung pada kerja itu. Sementara di kota, seorang pemuda 25 tahun dengan akses internet super cepat sedang menonton video “How to Find Your Passion in Life” untuk ketujuh kalinya minggu ini. Tapi sayangnya, belum juga nemu. “Masih mencari jati diri,” katanya, padahal yang hilang cuma niat.
Jadi, apakah motivasi itu penting? Tentu. Tapi hanya jika ia menjadi batu loncatan menuju tindakan, bukan kasur empuk untuk meringkuk dalam kebohongan diri. Ketika motivasi berubah menjadi candu, maka kita telah kehilangan arah. Kita bukan lagi manusia yang bergerak oleh niat dan tekad, tetapi boneka emosional yang menunggu angin mood untuk bertiup ke arah yang benar.
Mari kita akhiri tragedi ini dengan menyadari bahwa motivasi bukanlah dewa. Ia adalah budak. Budak dari disiplin, konsistensi, dan rasa tanggung jawab. Jika kita menjadikannya raja, maka ia akan memerintah dengan tangan kosong, menjanjikan perubahan tanpa memberi alat. Tapi jika kita menaklukkannya, memaksanya mengikuti jadwal kita, maka barulah ia menjadi kekuatan yang nyata.
Dan bagi mereka yang masih berkata, “Aku nunggu mood buat mulai,” maka izinkan saya memberikan sedikit motivasi:
Hidup ini tidak peduli dengan mood-mu. Dunia tidak akan berhenti berputar hanya karena kamu belum merasa “termotivasi.” Dan kalau kamu masih menunggu motivasi sebagai alasan untuk bergerak, maka mungkin kamu sedang tidak mencari motivasi—kamu sedang mencari pembenaran untuk tetap diam.
Semoga motivasimu datang. Tapi kalau tidak, setidaknya bangunlah, mandi, dan kerjakan sesuatu. Karena percaya atau tidak, kadang motivasi datang setelah kita bergerak, bukan sebelum. Ironis, ya?
0 Komentar