Anak-Anak Sebagai Biang Kemiskinan: Sebuah Telaah Cerdas Ala Negara yang Terlalu Pintar Menghindari Cermin

Dalam negara yang begitu mencintai pembangunan tetapi sedikit sekali membangun keadilan, ada satu narasi yang kerap muncul dari podium-podium kekuasaan: bahwa banyak anak adalah biang dari kemiskinan. Pernyataan ini begitu ringan diucapkan, seakan-akan ia bukan hanya sebuah kesimpulan ilmiah, tetapi sabda suci yang tak terbantahkan. Bahwa kemiskinan bersumber dari rahim, bukan dari kebijakan yang tumpul, birokrasi yang tambun, atau anggaran yang lebih doyan diserap ketimbang disalurkan. Dan tentu saja, masyarakat, makhluk bernama rakyat jelata itu selalu hadir sebagai pihak yang paling mudah disalahkan. Mereka miskin karena mereka bodoh, mereka bodoh karena mereka tidak cukup menonton seminar parenting di hotel berbintang, dan mereka tidak menonton karena terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga malam tanpa jaminan kesehatan maupun makan yang layak.


Logika ini, meski disampaikan dengan gaya teknokratis, sejatinya lebih cocok menjadi naskah drama tragikomedi. Negara yang konon menjunjung tinggi cita-cita keadilan sosial justru gemar menyalahkan rakyatnya sendiri atas ketimpangan yang sudah diwariskan dari sistem ekonomi yang timpang, dari struktur sosial yang cacat, dan dari keengganan elit untuk benar-benar menyingsingkan lengan baju, kecuali untuk menandatangani proyek.

Ketika seorang ibu melahirkan anak keempatnya di sebuah desa yang bahkan tak memiliki Puskesmas layak, narasi negara segera mengejarnya: “Lihatlah! Inilah contoh keluarga yang tidak bertanggung jawab.” Negara tidak akan menyapa si ibu dengan pertanyaan sederhana: “Apakah kau punya pilihan?” Sebab dalam tatanan kekuasaan yang nyaman, tidak adanya pilihan bukanlah tragedi; ia hanyalah kegagalan rakyat memahami ‘edukasi’ dari spanduk KB yang sudah luntur warnanya di balai desa. Seolah pendidikan itu tumbuh dari dinding, bukan dari sistem yang memberdayakan.

Sungguh menyenangkan menjadi negara yang tidak pernah salah. Ketika angka kemiskinan membengkak, negara bisa menunjuk angka kelahiran. Ketika angka kelahiran menurun, negara kemudian menyalahkan rakyat karena krisis tenaga kerja produktif. Negara adalah entitas yang selalu lulus dari ujian logika, karena soalnya memang dibuat sendiri. Rakyat? Mereka hanya murid-murid abadi yang tak pernah cukup pintar untuk memahami keagungan narasi pembangunan yang selalu menjanjikan surga dalam bentuk presentasi PowerPoint.

Bila rakyat tidak mampu membeli rumah, itu bukan karena harga tanah yang disulap menjadi objek spekulasi kapital, melainkan karena mereka terlalu banyak punya anak. Bila rakyat terjebak dalam pekerjaan informal tanpa jaminan sosial, itu bukan karena pasar tenaga kerja yang fleksibel tapi tidak manusiawi, melainkan karena mereka tidak ikut pelatihan. Pelatihan yang tentu saja, lebih banyak menguntungkan vendor daripada peserta. Bila rakyat akhirnya memilih untuk bertani, berjualan, atau menjadi pekerja migran, itu bukan karena tidak ada lapangan kerja, melainkan karena mereka tidak ‘berjiwa wirausaha’. Istilah ini begitu fleksibel, bisa disematkan ke siapa saja, bahkan pada pengemis pun, asalkan ia berpindah tempat mengemis dengan disiplin.

Lucunya, dalam narasi resmi pembangunan, negara selalu menyatakan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat. Tapi entah kenapa, kesejahteraan itu tidak pernah sampai. Seperti janji perbaikan jalan yang selalu tertunda, atau subsidi pupuk yang lebih sering muncul sebagai wacana ketimbang kenyataan. Namun jangan khawatir, negara tetap hadir. Hadir di baliho, hadir di laporan, hadir di anggaran perjalanan dinas. Dan tentu saja, hadir untuk memberi tahu rakyat bahwa mereka miskin karena kesalahan mereka sendiri.

Bagian 1: Negara, Angka, dan Ilusi Cermin Retak

Yang menarik dari negara modern adalah keahliannya dalam memelintir angka menjadi kisah. Angka-angka statistik yang seharusnya menjadi cermin objektif justru dipoles sedemikian rupa agar menjadi topeng. Dalam konteks jumlah anak dan kemiskinan, statistik digunakan bukan sebagai bahan introspeksi, melainkan alat pembenaran. Jika angka kemiskinan tinggi di wilayah dengan keluarga besar, maka kesimpulannya sederhana: terlalu banyak anak. Tak perlu mengupas distribusi anggaran, ketimpangan infrastruktur, atau kualitas layanan dasar. Negara hanya butuh angka dan narasi yang bisa digabungkan dalam satu infografis yang cukup estetis untuk media sosial.

Begitu angka-angka itu keluar dari mulut para pejabat, mereka menjadi semacam mantra. "Satu anak lebih baik, dua anak cukup." Mantra ini diulang-ulang, seakan-akan mengandung esensi pembangunan. Yang tak disebutkan adalah: cukup untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk anggaran yang malas dirombak agar adil? Tidak ada penjelasan mengenai bagaimana ‘cukup’ bisa berarti sangat berbeda antara seorang buruh tani dan seorang direktur BUMN. Karena dalam narasi resmi, semua rakyat dianggap homogen: memiliki kemampuan yang sama, akses yang sama, dan kesempatan yang setara. Bahwa kenyataannya tidak demikian? Ah, itu urusan rakyat.

Ketika kemiskinan tidak turun, pejabat akan menunjuk indeks fertilitas total. “Ini karena TFR (Total Fertility Rate) kita masih terlalu tinggi di beberapa provinsi,” katanya. Lalu muncullah program-program intervensi: kampanye KB ulang, distribusi alat kontrasepsi, penyuluhan tentang parenting modern yang digelar di desa-desa yang bahkan sinyal ponselnya sering hilang. Tidak akan ada penyuluhan tentang bagaimana elit politik bisa menyedot anggaran miliaran untuk studi banding ke negara-negara Nordik dengan alasan ‘mempelajari model kesejahteraan’, tapi tak pernah pulang membawa reformasi pajak progresif.

Sebaliknya, rakyat justru diminta belajar dari negara-negara maju: “Lihat Jepang, mereka hanya punya sedikit anak, dan mereka makmur.” Tidak disebutkan bahwa Jepang memiliki sistem jaminan sosial yang kuat, gaji minimum tinggi, layanan kesehatan universal, dan subsidi pendidikan yang nyata, bukan sekadar wacana. Tapi siapa peduli? Yang penting adalah membuat rakyat merasa bersalah karena memiliki anak lebih dari dua. Maka lahirlah generasi baru: orangtua yang menyembunyikan jumlah anaknya dari petugas sensus karena takut dicap ‘beban negara’.

Lalu kita masuk pada dimensi yang lebih absurd dari retorika pembangunan: ketika negara mengklaim peduli pada kualitas anak, bukan kuantitas. Tapi kualitas ini, entah kenapa, selalu ditentukan dari seberapa banyak orang tua bisa menggantikan fungsi negara. Bila seorang anak sakit dan tidak dibawa ke rumah sakit, maka orangtuanya tidak peduli. Bila seorang anak tidak sekolah, maka orangtuanya tidak bertanggung jawab. Padahal tidak ada analisis: apakah rumah sakit tersedia dan terjangkau? Apakah sekolah memiliki fasilitas, guru, dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan lokal?

Negara tidak tertarik pada pertanyaan-pertanyaan ini. Negara lebih senang memproduksi slogan: “Anak berkualitas, keluarga sejahtera.” Kalimat ini terdengar bijak, tapi sesungguhnya ia hanya menyamarkan kenyataan bahwa kualitas anak masih tergantung pada dompet orang tuanya. Sistem yang semestinya menjamin anak-anak mendapatkan hak yang sama justru dibebankan kepada keluarga. Maka terjadilah situasi tragis di mana orang tua merasa bersalah karena tidak bisa menyekolahkan anaknya, sementara negara merasa berhasil karena telah membuat masyarakat merasa bersalah.

Dan dalam logika pembangunan ini, peran negara lebih sering hadir sebagai pengawas moral ketimbang fasilitator kesejahteraan. Negara tidak melihat bahwa banyak keluarga besar justru terbentuk karena ketiadaan jaring pengaman sosial. Di desa-desa terpencil, anak-anak dianggap sebagai sumber tenaga kerja, investasi masa tua, bahkan jaminan sosial informal karena negara tidak menyediakan yang formal. Tapi alih-alih memperkuat sistem perlindungan sosial, negara memilih untuk menyalahkan budaya, tradisi, dan kebiasaan rakyat. Sekali lagi, rakyat menjadi kambing hitam; padahal mereka hanya berevolusi di dalam ruang yang tidak memberi pilihan.

Kemudian mari kita tengok sektor pekerjaan. Apakah benar bahwa keluarga besar akan selalu menjadi beban dalam ekonomi? Bukankah seharusnya, dalam negara yang katanya gemar menciptakan lapangan kerja, makin banyak anak berarti makin besar potensi tenaga kerja produktif di masa depan? Tapi tampaknya negara hanya menyukai anak-anak ketika mereka belum lahir. Setelah mereka lahir dan tumbuh, tiba-tiba mereka menjadi statistik pengangguran yang merepotkan. Maka jangan heran jika negara begitu antusias dalam mengatur kelahiran, tapi malas menyediakan lapangan kerja yang layak.

Ah, ‘lapangan kerja layak’ sebuah frasa yang kerap muncul dalam dokumen perencanaan tetapi jarang hidup dalam realitas. Negara begitu bangga ketika angka pertumbuhan ekonomi naik, tetapi tak pernah repot mengevaluasi jenis pekerjaan apa yang tercipta. Pekerja informal? Ojol? Buruh outsourcing dengan kontrak harian? Semua dianggap indikator keberhasilan. Bahkan ketika buruh mogok menuntut upah layak, negara tak malu menyebut mereka sebagai penghambat investasi. Dalam dunia yang demikian, anak-anak dari keluarga miskin sudah divonis kalah sejak lahir. Mereka bukan dianggap sebagai calon kontributor masa depan, melainkan potensi beban anggaran.

Ironi lain muncul ketika negara mulai menggagas ‘bonus demografi’. Kata ini begitu seksi di telinga para perencana pembangunan: bahwa Indonesia akan memiliki surplus penduduk usia produktif dalam beberapa dekade ke depan. Tapi apa gunanya bonus jika tidak ada strategi untuk mendistribusikannya secara adil? Anak-anak dari keluarga kaya akan tumbuh dengan gizi, pendidikan, dan koneksi. Anak-anak dari keluarga miskin akan tumbuh dengan utang, kekurangan, dan stigma. Maka yang disebut bonus hanyalah bagi mereka yang sudah punya modal. Yang lain? Silakan antre di program pelatihan yang dikelola oleh LSM yang dibiayai hibah asing.

Lucunya, narasi tentang ‘banyak anak = miskin’ tidak pernah diterapkan pada elite politik. Tidak pernah ada kampanye yang menyebut bahwa anggota DPR dengan delapan anak telah memberi contoh buruk bagi rakyat. Tidak pernah ada sindiran kepada pejabat yang menggelar pesta ulang tahun anaknya di luar negeri sambil berkhotbah soal pentingnya hidup sederhana. Karena bagi mereka, anak bukan beban, tapi simbol status. Dan negara tidak pernah keberatan dengan status. Negara hanya keberatan ketika rakyat beranak tanpa modal. Sungguh kebijakan yang membedakan antara anak kelas atas dan anak kelas bawah, seolah mereka terlahir dalam spesies berbeda.

Bagian 2: Sejarah yang Dihapus, Neoliberalisme yang Dihamili

Agar bisa menyalahkan rakyat secara konsisten, negara perlu menghapus ingatan. Sebab jika ingatan kolektif masih utuh, maka rakyat akan tahu bahwa mereka dulu tidak dilahirkan miskin, tetapi dimiskinkan. Oleh sebab itu, sejarah menjadi medan yang harus disucikan dari kenyataan. Narasi ‘banyak anak membuat miskin’ hanya bisa hidup jika sejarah penghilangan tanah, monopoli sumber daya, dan liberalisasi ekonomi disamarkan menjadi ‘konsekuensi zaman modern’.

Mari kita tarik sedikit ke belakang. Sebelum negara begitu doyan mengedukasi rakyat tentang pentingnya kontrasepsi, ada masa di mana tanah adalah sumber kehidupan dan anak adalah bagian dari sistem produksi keluarga. Anak-anak bekerja di ladang bukan karena mereka dieksploitasi, tetapi karena ekonomi desa bersifat kolektif. Dalam sistem seperti ini, makin banyak anggota keluarga berarti makin besar kapasitas bertahan hidup. Tapi semua itu berubah ketika tanah dijadikan komoditas, ketika desa dikuras tenaga kerjanya untuk digiring ke kota dalam nama industrialisasi yang serampangan, dan ketika negara lebih peduli pada investor asing daripada petani lokal.

Namun sejarah semacam itu terlalu memalukan untuk diakui. Maka narasi baru dibangun: kemiskinan bukan warisan dari kolonialisme ekonomi yang dilanjutkan oleh elite republik, melainkan akibat dari ketidakmampuan rakyat mengatur hidup. Maka lahirlah slogan-slogan absurd seperti “dua anak cukup” tanpa refleksi mengapa satu anak pun bisa kelaparan di negeri yang katanya kaya. Negara membanggakan diri karena berhasil menurunkan angka kelahiran, tapi tidak pernah bertanya: mengapa meskipun jumlah anak menurun, tingkat ketimpangan tetap tinggi? Jawabannya sederhana—karena akar kemiskinan bukan soal jumlah mulut yang harus diberi makan, tapi jumlah tangan yang menguasai lahan, logistik, dan legislasi.

Lalu muncullah pahlawan baru dalam wujud neoliberalisme. Ideologi ini, meski dikemas dalam busana kebijakan rasional, pada dasarnya adalah pengundangan kesenjangan. Dalam rezim ini, negara bukan lagi pelayan publik, tetapi manajer. Tugas negara bukan menyejahterakan, melainkan mengefisienkan. Maka rakyat yang memiliki banyak anak akan dipandang sebagai beban statistik. Pendidikan bukan lagi hak, tapi investasi. Kesehatan bukan layanan, tapi layanan jasa. Dan tentu saja, keluarga yang tidak bisa membeli jasa dianggap gagal. Bukan sistemnya yang bobrok, tapi rakyatnya yang tidak cukup ‘kompetitif’.

Neoliberalisme bekerja dengan senyap, melalui bahasa yang terdengar profesional: ‘sustainability’, ‘target demografis’, ‘incentive policy’, ‘kinerja fiskal’. Tapi bahasa-bahasa ini menyembunyikan fakta bahwa negara tidak lagi berpihak pada yang lemah. Lihat saja bagaimana program bantuan sosial dikurangi atas nama efisiensi, sementara subsidi energi untuk industri besar tetap dijaga demi menjaga ‘iklim investasi’. Dalam konteks seperti itu, keluarga miskin yang memiliki banyak anak bukan hanya dianggap tidak rasional, tapi juga tidak patriotik. Mereka adalah ‘gangguan’ bagi desain pembangunan yang hanya ingin rakyat secukupnya-cukup untuk konsumsi, cukup untuk kerja murah, tapi tidak cukup kuat untuk menggugat.

Dan tentu saja, tidak ada tempat untuk solidaritas dalam sistem semacam ini. Keluarga besar yang dulunya merupakan bentuk tanggung jawab kolektif kini dilihat sebagai inefisiensi sosial. Negara akan menganjurkan agar keluarga miskin mengurangi jumlah anak, bukan karena negara peduli pada kesejahteraan anak-anak tersebut, tetapi karena negara tidak sanggup, atau lebih tepatnya tidak mau, membiayai pendidikan dan kesehatan mereka. Maka pembangunan manusia dialihkan ke rumah tangga. Bila seorang anak gagal dalam hidupnya, maka kegagalan itu tidak akan dibebankan pada sistem pendidikan yang carut-marut, melainkan pada orang tua yang ‘tidak bijak’ dalam merencanakan jumlah anak.

Ironisnya, dalam sistem ini pula negara tetap getol membangun infrastruktur. Jalan tol, bandara, pelabuhan, dan proyek mercusuar lain dibangun dengan semangat luar biasa, meskipun banyak desa masih tanpa listrik, air bersih, atau guru tetap. Negara merasa modern karena membangun jalan tol yang melintasi daerah miskin, tanpa sadar (atau justru sangat sadar) bahwa jalan itu tidak mengangkat mereka dari kemiskinan hanya mempercepat laju truk yang membawa hasil bumi ke kota. Rakyat tetap tinggal di pinggir jalan itu, menggelar dagangan kecil, berharap pada belas kasihan pengguna tol, sambil membayar mahal biaya hidup karena harga tanah yang naik akibat proyek.

Tetapi sekali lagi, narasi pembangunan harus dijaga. Maka rakyat tidak boleh tahu bahwa ketimpangan adalah desain, bukan kecelakaan. Bahwa dalam sistem neoliberal, kemiskinan bukan masalah yang ingin diselesaikan, tapi alat kontrol sosial. Semakin miskin rakyat, semakin mudah dikendalikan. Maka setiap wacana reformasi yang berorientasi keadilan selalu dicurigai sebagai ancaman terhadap ‘stabilitas ekonomi’. Di tengah narasi itu, pernyataan seperti “banyak anak bikin miskin” adalah alat psikologis untuk memindahkan rasa malu. Negara yang seharusnya malu karena gagal menjamin kesejahteraan justru membuat rakyat malu karena memiliki anak lebih dari dua.

Tak cukup sampai di sana, negara kemudian menyempurnakan narasi ini dengan pendekatan gender yang sangat selektif. Perempuan miskin yang memiliki banyak anak akan disudutkan sebagai tidak bertanggung jawab, tapi perempuan elite yang memiliki banyak anak justru dipuja sebagai ibu hebat. Pilihan hidup perempuan hanya dihormati ketika ia bisa membayar pilihan itu dengan uang. Dalam dunia semacam ini, kebebasan beranak menjadi semacam hak istimewa, bukan hak dasar. Maka tak heran jika program-program pengendalian kelahiran justru menyasar kelas bawah. Miskin dan subur adalah kombinasi yang dianggap berbahaya, bukan bagi masa depan anak-anak itu, tetapi bagi spreadsheet kementerian yang sedang mengejar target anggaran.

Kemudian negara merasa perlu untuk ‘mengedukasi’ rakyat. Maka lahirlah program sosialisasi KB di mana rakyat miskin dikumpulkan, ditanyai jumlah anak, diberi ceramah, lalu dipulangkan dengan pamflet. Tidak ada dialog sejati. Tidak ada pengakuan bahwa keluarga miskin memiliki nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan keuletan yang justru sering tidak dimiliki kelas menengah yang katanya rasional. Tidak ada apresiasi bahwa anak-anak dari keluarga miskin seringkali menjadi penyokong ekonomi rumah tangga sejak dini. Mereka bukan beban, mereka adalah pejuang kecil—meskipun negara lebih suka menyebut mereka sebagai ‘indikator kegagalan perencanaan keluarga’.

Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa negara telah bertransformasi dari penguasa kolonial yang mengatur populasi demi produksi menjadi manajer neolib yang mengatur populasi demi efisiensi. Populasi bukan lagi dianggap sebagai subjek pembangunan, tapi objek statistik. Maka keluarga miskin harus dikurangi jumlahnya, bukan karena negara ingin mengurangi penderitaan mereka, tetapi agar mereka tidak mencemari data pertumbuhan. Ini adalah manajemen kemiskinan versi Excel, rakyat dihitung, diringkas, dan dijumlahkan sesuai kebutuhan dokumen RPJMN.

Jika pada zaman kolonial rakyat dieksploitasi untuk komoditas ekspor, maka pada zaman ini rakyat dikurasi untuk indikator pembangunan. Dan jika pada zaman dahulu tanah dirampas untuk perkebunan, kini masa depan rakyat dirampas untuk angka. Dalam semua ini, negara tidak kehilangan senyum. Ia tetap ramah, tetap tampil di layar kaca, tetap mengucapkan “rakyat adalah prioritas.” Tapi prioritas apa? Prioritas dalam daftar masalah? Atau prioritas dalam daftar yang harus disingkirkan agar investor merasa nyaman

Bagian 3: Negeri yang Terlalu Sibuk Menghitung Anak, Tapi Lupa Menghitung Diri

Di ujung segala narasi yang dibentuk negara, kita sampai pada satu titik sunyi: sebuah tempat di mana rakyat akhirnya berhenti bertanya. Bukan karena semua pertanyaan telah dijawab, melainkan karena terlalu sering ditertawakan oleh jawaban yang tak masuk akal. Di titik ini, kita menemukan banyak kepala menunduk bukan karena hormat, tetapi karena letih. Letih menjadi pihak yang terus diminta menyesuaikan diri, menahan diri, dan menyalahkan diri, dalam negara yang bahkan tak mau bercermin.

Maka ketika negara berkata “banyak anak menyebabkan kemiskinan,” rakyat diminta menunduk. Bukan karena mereka percaya, tapi karena mereka sudah terlalu sering dicap salah. Negara tidak meminta rakyat berpikir, cukup percaya. Seperti dalam agama, keyakinan atas dogma negara tak butuh bukti. Tidak penting bahwa negara tak pernah berhasil menjelaskan bagaimana rumah-rumah megah para pejabat tidak pernah tergantung pada jumlah anak. Tidak penting bahwa gaji anggota DPR tidak pernah dikurangi meskipun mereka punya sepuluh anak dan tak satupun masuk SD negeri. Karena dogma tidak mengenal kontradiksi. Dogma hanya mengenal pengikut dan penyesat.

Negara tidak lagi berbicara dengan rakyat, melainkan kepada rakyat. Layaknya penyiar radio, negara memutar kaset lama: “rakyat harus bertanggung jawab, harus sadar, harus patuh, harus menyesuaikan.” Seolah-olah rakyatlah yang membatalkan anggaran kesehatan demi pembangunan sirkuit balap. Seolah rakyatlah yang mencetak utang luar negeri tanpa rencana jangka panjang. Seolah rakyatlah yang menandatangani kontrak jangka panjang dengan korporasi tambang, lalu membiarkan desa-desa sekarat tanpa air bersih. Rakyat dihadapkan pada kebijakan yang mereka tidak pernah dimintai persetujuannya, lalu disuruh menanggung akibatnya seumur hidup.

Di tengah absurditas itu, narasi tentang jumlah anak menjadi semacam pertunjukan moral. Ia bukan lagi soal perencanaan, melainkan penghakiman. Negara tampil sebagai guru yang bijak, rakyat sebagai murid yang bodoh. “Kalau miskin, kenapa punya anak banyak?” adalah versi elegan dari kalimat: “Kemiskinanmu itu salahmu sendiri.” Tapi tak pernah ada pertanyaan sebaliknya: “Kalau negara gagal menyejahterakan, kenapa pemimpinnya selalu gonta-ganti mobil dinas?” Tak pernah ada kampanye yang menyebut bahwa mungkin, hanya mungkin, masalahnya bukan pada jumlah anak, tapi pada jumlah rekening tak terdeteksi di luar negeri.

Narasi ini juga membentuk generasi baru: anak-anak muda yang dididik untuk mencurigai keluarga miskin. Mereka diajarkan berpikir bahwa rasionalitas berarti hidup hemat, tidak punya banyak anak, dan mengejar efisiensi pribadi. Tapi efisiensi macam apa yang dibanggakan ketika seorang mahasiswa magang di perusahaan multinasional hanya diberi upah transportasi? Rasionalitas macam apa yang dipuja ketika guru honorer harus mengajar 40 murid per kelas dengan gaji separuh UMR? Dalam sistem ini, efisiensi hanyalah kata lain dari penindasan yang dikemas agar terlihat modern.

Sementara itu, negara melanjutkan kiprahnya sebagai influencer pembangunan. Setiap kali angka kemiskinan menurun meski hanya 0,01 persen, negara merayakannya seperti kemenangan Piala Dunia. Tapi jika angka itu naik, negara dengan cepat mencari kambing hitam. Kadang globalisasi, kadang pandemi, kadang cuaca, dan sering kali: rakyat sendiri. Seolah-olah yang memaksa orang kota untuk tetap bekerja saat lockdown bukanlah kebijakan setengah hati, melainkan sifat keras kepala rakyat. Seolah-olah yang menyebabkan inflasi adalah emak-emak pasar yang gagal menawar harga, bukan distribusi pangan yang dikendalikan oleh oligarki logistik.

Di tengah pawai angka dan jargon ini, nasib anak-anak menjadi urusan pribadi. Negara hanya tertarik pada mereka ketika mereka bisa dibanggakan. Misalnya saat mendapat medali olimpiade atau menjadi duta inovasi. Tapi untuk anak-anak yang gagal masuk sistem, tidak ada tempat dalam narasi negara. Mereka disebut ‘generasi gagal’, seolah-olah sistem tidak turut membentuk kegagalan itu. Negara hanya mengadopsi anak-anak yang sesuai dengan target pembangunan. Yang lain? Biarkan mereka diasuh oleh nasib.

Ironi makin dalam ketika kita melihat negara justru memanfaatkan anak-anak miskin dalam kampanye politik. Mereka diajak berfoto, digendong, dibelikan permen, lalu dijadikan bukti kepedulian. Tapi kepedulian macam apa yang hanya muncul di tahun pemilu? Anak-anak itu akan tumbuh dan sadar bahwa mereka pernah dijadikan latar belakang baliho, tanpa pernah menjadi latar depan kebijakan. Bahwa senyum mereka digunakan untuk menarik suara, bukan untuk merancang masa depan.

Dalam semua ini, yang paling menyedihkan adalah bahwa banyak orang mulai percaya bahwa memang seharusnya orang miskin tidak punya banyak anak. Mereka menelan narasi negara tanpa sempat bertanya: apakah miskin itu pilihan? Atau hasil sistem? Negara terlalu sering menekankan tanggung jawab individu, tanpa pernah menyebutkan ketidakadilan struktural. Maka masyarakat pun perlahan belajar untuk menghakimi sesamanya: “Pantas miskin, anaknya banyak.” Inilah bentuk kemenangan tertinggi dari narasi negara: ketika rakyat mulai menjadi polisi bagi rakyat lainnya.

Tapi bukankah anak-anak adalah masa depan? Ya, tentu saja. Tapi masa depan milik siapa? Anak-anak dari keluarga kaya akan diwarisi tanah, koneksi, dan akses. Anak-anak dari keluarga miskin akan diwarisi utang, stigma, dan tembok birokrasi. Maka yang disebut ‘generasi emas’ hanya berlaku bagi mereka yang lahir di lingkungan yang sudah ‘dilapisi emas’. Yang lain? Disuruh ikut pelatihan motivasi yang disubsidi. Jika gagal, ya salah sendiri tidak cukup berusaha.

Dan akhirnya kita sampai pada satu pertanyaan penting: siapa yang sebenarnya tidak bisa mengatur? Rakyat yang punya banyak anak, atau negara yang tidak bisa mendesain sistem yang adil? Mungkin jawabannya tidak penting bagi negara, karena negara sudah kebal terhadap introspeksi. Yang penting adalah tetap mempertahankan narasi bahwa kemiskinan itu akibat pilihan pribadi, bukan kegagalan kolektif. Karena mengakui kegagalan berarti mempertanyakan legitimasi, dan tidak ada negara yang suka pertanyaan semacam itu.

Negara akan terus memproduksi data, grafik, dan pidato. Rakyat akan terus dihimbau untuk ‘bijak berkeluarga’. Tapi tak akan ada pidato yang berkata: “Kami gagal menyediakan layanan dasar yang layak.” Tak akan ada grafik yang menunjukkan seberapa banyak janji politik yang dilanggar. Karena negara tidak pernah melihat dirinya sebagai bagian dari masalah. Ia hanya ingin tampil sebagai solusi, meski tak pernah benar-benar menyelesaikan.

Maka pada akhirnya, rakyat harus belajar bahwa memiliki anak bukanlah masalah moral, melainkan hak hidup. Bahwa kemiskinan bukanlah aib, melainkan hasil desain ekonomi yang tidak adil. Bahwa menyalahkan keluarga miskin karena memiliki banyak anak hanyalah cara malas untuk menghindari tanggung jawab. Dan bahwa negara, yang terlalu sibuk menghitung anak orang lain, mungkin harus lebih sering menghitung berapa banyak janji yang tak pernah ditepati.

Karena dalam negeri yang sehat, pertanyaan tentang kesejahteraan tidak dimulai dari jumlah anak, tapi dari jumlah keadilan.

Posting Komentar

0 Komentar