Dibalik Kalimat ‘Gua Bisa Tanpa Belajar’ Malas yang Merugikan Banyak Orang

Di sebuah zaman yang diklaim sebagai puncak peradaban digital, ketika informasi tersedia hanya sejauh gerakan jari, ketika edukasi bisa diklik seperti lagu favorit, lahirlah satu spesies baru dalam spektrum manusia modern: Homo Tanpamemoria, atau dalam istilah populernya, si anak ajaib yang selalu bisa tanpa belajar. Kalimat sakral yang kerap mereka lontarkan“Gua aja bisa tanpa belajar” telah menjelma menjadi slogan era kemalasan terorganisir, sebuah kredo spiritual bagi mereka yang percaya bahwa proses adalah lelucon dan keberhasilan adalah keberuntungan acak.

 


Kalimat ini, pada dasarnya, adalah ironi dalam bentuk paling tulen. Ia menyiratkan seolah kecerdasan adalah kodrat, bukan hasil jerih payah. Seolah otak adalah warisan genetik yang tinggal pakai, bukan otot mental yang harus dilatih. Dan lebih buruknya lagi, ia menjadi semacam pembenaran universal bagi ketidakseriusan, ketidakdisiplinan, dan dalam level tertentu: kedangkalan berpikir.

Mari kita bongkar perlahan. Kalimat ini biasanya dilontarkan dengan semangat yang tak jauh berbeda dari deklarasi kemenangan perang. Nada bangga. Kepala agak miring ke kanan. Dada membusung meski IPK pas-pasan. Ketika ditanya bagaimana bisa dapat nilai bagus di ujian, jawabannya lugas dan penuh keangkuhan spiritual: “Gua bahkan gak belajar.” Sebuah pengakuan yang seolah menunjukkan kejeniusan, padahal lebih sering merupakan bukti dari sistem pendidikan yang tak sengaja memberi celah bagi keculasan.

Bayangkan seorang siswa di sekolah. Ia tergabung dalam kelompok tugas. Di dalam kelompok ini, selalu ada pembagian kerja: satu yang mengerjakan PowerPoint, satu yang menyusun laporan, satu yang bicara saat presentasi, dan satu lagi—si tokoh utama kita—yang menyumbang napas. Ia adalah spesialis keberadaan. Tidak memberi solusi, tidak mengacaukan, hanya diam dan hadir seperti hiasan dalam rapat keluarga. Tapi anehnya, nilainya sama.

Di dunia kerja, reinkarnasi dari anak ini tampil lebih menantang. Ia kini menjelma menjadi rekan kantor yang mengandalkan "improvisasi" sebagai etos kerja. Ia datang tanpa membaca brief, bicara di meeting tanpa data, dan menyelesaikan tugas dengan pendekatan yang hanya bisa dijelaskan oleh teori kuantum: tidak jelas dari mana datangnya dan ke mana arahnya. Tapi ia tetap lolos. Kadang bahkan naik jabatan. Dunia kerja memang tempat paling subur bagi survival of the laziest—yang penting bisa bersilat lidah, membingkai kegagalan sebagai "proses belajar", dan memindahkan beban kerja dengan senyuman diplomatis.

Kalau kita telusuri lebih dalam, ungkapan “gua aja bisa tanpa belajar” adalah bentuk kebanggaan pada ketidaksiapan. Ia adalah semacam premis hidup yang menolak repetisi, menolak kesalahan sebagai pembelajaran, menolak usaha sebagai keniscayaan. Ia menolak manusia sebagai makhluk pembelajar, dan malah menobatkan insting sebagai pengganti ilmu. Maka tak heran, dari ruang kelas hingga ruang rapat, kita mulai melihat makin banyak keputusan diambil berdasarkan "perasaan" ketimbang riset; opini dikira fakta; dan popularitas lebih utama dari kapasitas.

Ironisnya, orang-orang seperti ini sering dielu-elukan. Mereka dicontoh, dijadikan panutan, bahkan kadang muncul di acara motivasi sebagai “inspirasi”. Padahal kalau dicermati, mereka bukan inspirasi, melainkan peringatan. Bukti nyata bahwa sistem bisa dikalahkan dengan modal percaya diri yang kelewat batas. Mereka adalah virus sosial yang tersebar lewat tawa, dibiakkan oleh sistem yang terlalu sibuk mengejar angka hingga lupa menilai proses.

Apa jadinya kalau semua orang berpikir seperti ini? Bahwa kecerdasan adalah hadiah, bukan hasil? Maka tamatlah sudah peradaban yang kita bangun dengan susah payah. Tidak akan ada ilmuwan, karena belajar itu terlalu melelahkan. Tidak akan ada dokter, karena kuliah kedokteran dianggap buang-buang waktu. Tidak akan ada insinyur, karena menggambar struktur bangunan lebih susah dari menggambar impian di dinding kamar.

Sebaliknya, kita akan dibanjiri oleh content creator motivasi yang isinya “tips sukses tanpa kerja keras”, “cara jadi kaya dari rebahan”, dan “kenapa kamu harus putus kuliah sekarang juga”. Kita akan hidup dalam dunia yang isinya adalah tutorial shortcut, video motivasi dua menit, dan pemujaan terhadap hasil instan. Dan di ujungnya, kita akan menuai satu hal: masyarakat yang pandai bicara tapi miskin makna, penuh semangat tapi tanpa arah.

Dalam kajian sosial, fenomena seperti ini dikenal sebagai effort justification fallacy terbalik. Biasanya, orang melebihkan hasil karena merasa sudah bekerja keras. Tapi dalam kasus ini, orang melebihkan dirinya karena merasa tidak bekerja keras. Ia menjadikan kemalasan sebagai nilai jual. Ini bukan lagi sekadar masalah pribadi. Ini sudah menjadi ideologi.

Padahal kalau mau jujur, tidak ada satupun prestasi monumental dalam sejarah umat manusia yang lahir dari “gue gak belajar, tapi jago.” Tidak ada revolusi ilmiah, artistik, maupun sosial yang muncul dari orang-orang yang malas berpikir. Semua lahir dari dedikasi yang panjang, jam terbang yang melelahkan, dan kesalahan yang tak terhitung.

Einstein pernah menghabiskan sepuluh tahun untuk mengembangkan Teori Relativitas, bukan sepuluh menit nonton video TikTok. Van Gogh melukis ratusan karya yang tak laku sebelum satu saja diakui. Bahkan seorang tukang las handal pun belajar bertahun-tahun dari percikan api dan luka bakar, bukan dari tutorial sepuluh detik.

Tetapi zaman memang berubah. Hari ini, orang lebih senang mengutip kata-kata motivasi palsu daripada membaca buku. Lebih senang tampil pintar daripada menjadi pintar. Kita hidup di era di mana proses adalah kutukan dan hasil instan adalah Tuhan. Maka tidak heran, fenomena “gua aja bisa tanpa belajar” mendapat panggung.

Namun panggung itu bukan tanpa akibat. Di balik gemerlap keberhasilan semu, tersembunyi banyak kolega yang terpaksa bekerja dua kali lipat. Banyak tim yang berjalan pincang karena satu orang merasa cukup dengan "improvisasi". Banyak proyek yang gagal bukan karena idenya buruk, tapi karena eksekusinya diserahkan pada orang yang mengira dirinya jenius, padahal cuma malas riset.

Lebih jauh, orang-orang seperti ini menciptakan budaya kerja yang beracun. Mereka membuat orang-orang yang sungguh-sungguh jadi skeptis. Mereka menciptakan ketimpangan beban kerja, menurunkan standar performa, dan menjadikan mediokritas sebagai norma baru. Maka jangan heran jika budaya overwork tumbuh subur—bukan karena semua orang gila kerja, tapi karena separuh lainnya cuma jago menghindar.

Apa yang bisa kita lakukan? Pertama-tama, berhenti mengagungkan mereka. Jangan anggap keren orang yang tidak belajar tapi dapat nilai bagus. Jangan anggap “berbakat” orang yang tak pernah riset tapi banyak omong. Jangan beri panggung pada kebetulan yang dibungkus sebagai kemampuan. Jadikan belajar sebagai kebiasaan, bukan hukuman. Jadikan usaha sebagai kebanggaan, bukan keanehan.

Dan yang paling penting: ajarkan bahwa tidak apa-apa gagal, asal setelah belajar. Bahwa lelah adalah bagian dari pertumbuhan. Bahwa kita semua tidak dilahirkan jenius, tapi bisa memilih untuk menjadi pembelajar. Karena dalam dunia yang penuh kecepatan, justru ketekunan adalah bentuk perlawanan paling radikal.

Pada akhirnya, "gua aja bisa tanpa belajar" bukanlah kalimat kebanggaan. Itu adalah alarm kebodohan yang dibungkus dalam selimut arogansi. Dan jika kita terus membiarkan suara itu terdengar lebih nyaring dari suara mereka yang berusaha, maka kita bukan sedang membangun masa depan—kita sedang mencicil kehancuran.

Posting Komentar

0 Komentar