Ah, sungguh menarik pertanyaan yang tak pernah gagal muncul di kolom komentar setiap kali ada diskusi tentang nasib guru. "Kenapa masih mau jadi guru?" atau variasinya, "Kalau gajinya kecil, kenapa nggak cari kerjaan lain?" Seolah-olah menjadi guru adalah keputusan hidup yang setara dengan memilih rasa es krim di musim panas. Sederhana, ringan, dan tanpa konsekuensi berarti. Baiklah, mari kita jawab pertanyaan ini secara mendalam, dengan sedikit bumbu satire yang mungkin akan menggelitik logika kita semua.
Pertama-tama, mari kita bicara tentang profesi ini sebagai panggilan jiwa. Ya, guru sering kali disebut memiliki "panggilan jiwa". Tapi tahukah Anda? Panggilan jiwa itu sering kali muncul seperti telepon tak terjawab di tengah malam. Anda tahu itu penting, tetapi ketika Anda mengangkatnya, ternyata ada suara yang berkata, "Selamat, Anda telah memenangkan tiket masuk ke dunia penuh tanggung jawab tanpa akhir, upah yang hampir tidak mencukupi, dan pengakuan yang sering kali setengah hati."
Namun, apakah guru menyerah? Tentu tidak! Mereka menerima panggilan itu dengan senyum di wajah dan hati yang penuh harapan, meski mungkin ada sedikit rasa khawatir di pojok hati. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, bahwa pendidikan adalah pondasi masyarakat, dan bahwa mereka sedang membentuk masa depan bangsa. Ironisnya, masa depan bangsa ini tampaknya tidak begitu peduli dengan mereka.
Mari kita masuk ke aspek finansial, karena ini adalah inti dari banyak komentar tadi. Gaji guru, terutama guru honorer, sering kali berada di bawah garis layak. Namun, inilah yang sering tidak dipahami: menjadi guru bukan hanya soal uang. Guru tahu betul bahwa gaji mereka tidak akan membuat mereka kaya. Tapi apakah mereka tetap memilih profesi ini karena mereka tidak punya pilihan lain? Tidak juga. Mereka memilihnya karena ada kepuasan yang tidak bisa diukur dengan uang. Sayangnya, kepuasan ini tidak bisa digunakan untuk membayar listrik, sewa rumah, atau sekadar membeli secangkir kopi di kafe.
Dan di sinilah letak ironi terbesar: masyarakat mengharapkan guru untuk menjadi sosok yang sempurna, penuh dedikasi, dan selalu ikhlas. Namun, ketika guru mulai mengeluh soal gaji atau meminta hak mereka, tiba-tiba mereka dianggap materialistis. "Bukankah guru harus ikhlas?" adalah argumen yang sering digunakan untuk meredam protes. Bayangkan jika logika ini diterapkan pada profesi lain. Dokter yang meminta bayaran dianggap tidak ikhlas menyelamatkan nyawa. Tukang listrik yang meminta upah dipandang tidak tulus menerangi rumah orang lain. Tidak masuk akal, bukan?
Lalu, kenapa masih ada yang mau jadi guru? Mungkin karena mereka adalah kelompok manusia unik yang masih percaya bahwa idealisme memiliki tempat di dunia yang penuh dengan ketidakadilan ini. Mereka melihat anak-anak yang berjuang memahami matematika, sejarah, atau bahkan hanya berusaha menjadi individu yang lebih baik, dan mereka merasa bahwa usaha itu layak diperjuangkan. Mungkin karena mereka percaya bahwa satu anak yang terinspirasi bisa membuat perubahan besar di masa depan. Tapi apakah itu cukup untuk menutupi fakta bahwa mereka sering kali harus berjuang sendiri dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka? Tentu saja tidak.
Kita sering lupa bahwa guru adalah manusia biasa. Mereka memiliki keluarga untuk diberi makan, tagihan untuk dibayar, dan impian untuk dikejar. Namun, mereka juga memiliki tanggung jawab yang luar biasa besar. Tanggung jawab untuk mendidik generasi berikutnya, untuk memastikan bahwa anak-anak kita memiliki pengetahuan dan nilai-nilai yang diperlukan untuk menghadapi dunia. Ironisnya, tanggung jawab ini sering kali tidak dihargai dengan cara yang layak.
Jadi, kepada mereka yang bertanya, "Kenapa masih mau jadi guru?" jawabannya adalah: karena jika tidak ada yang mau, maka siapa yang akan melakukannya? Siapa yang akan mengajarkan anak-anak Anda? Siapa yang akan membantu mereka memahami dunia ini dan tempat mereka di dalamnya? Guru mungkin tahu bahwa mereka tidak akan kaya dari pekerjaan ini, tetapi mereka tetap melakukannya karena mereka tahu betapa pentingnya pekerjaan ini.
Namun, penting juga untuk diingat bahwa dedikasi dan idealisme tidak seharusnya menjadi alasan untuk menerima perlakuan yang tidak adil. Guru bukanlah martir yang harus mengorbankan segalanya demi orang lain. Mereka adalah profesional yang layak mendapatkan pengakuan, penghormatan, dan kompensasi yang setimpal. Mengharapkan guru untuk bekerja dengan gaji yang rendah sambil tetap memberikan yang terbaik adalah bentuk ketidakadilan yang nyata.
Dan jika masih ada yang bertanya, "Kenapa nggak cari kerjaan lain?" mungkin jawabannya adalah: karena mereka percaya bahwa perubahan dimulai dari pendidikan. Karena mereka masih memiliki harapan, meski sering kali harapan itu diuji oleh realitas yang keras. Dan karena mereka tahu bahwa meski pekerjaan ini sering kali tidak dihargai, dampaknya akan terasa jauh di masa depan.
Jadi, mari kita berhenti mempertanyakan pilihan mereka dan mulai mempertanyakan sistem yang membuat pilihan ini terasa seperti pengorbanan besar. Guru bukanlah pahlawan super yang kebal terhadap kesulitan. Mereka adalah manusia biasa yang melakukan pekerjaan luar biasa. Sudah saatnya kita menghargai mereka seperti seharusnya.
0 Komentar