Pembuka
Di negeri yang konon katanya berlandaskan pendidikan sebagai tiang utama pembangunan, ada sebuah ironi yang begitu mencolok. Setiap tahunnya, ratusan ribu guru mengajar dengan semangat membara, bukan karena iming-iming gaji yang melimpah, melainkan karena keyakinan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah panggilan jiwa. Namun, tatkala mereka menuntut hak yang selayaknya diterima—kenaikan gaji yang menyesuaikan dengan inflasi atau setidaknya mendekati UMR—muncullah serangkaian pertanyaan bernada nyinyir dari masyarakat: "Kalau gaji kecil, kenapa masih mau jadi guru?" atau "Kenapa nggak berhenti aja jadi guru?" Sebuah bentuk kebijakan ekonomi berbasis keajaiban, di mana dedikasi haruslah cukup untuk membayar cicilan rumah dan uang sekolah anak.
Bagian 1: Paradoks Panggilan Hati
Seorang guru, katanya, haruslah berjiwa besar. Ia tidak boleh sekadar mengajar demi uang. Pendidikan, kata mereka, adalah pengabdian murni, seolah-olah ilmu pengetahuan akan bertumbuh hanya dengan keikhlasan tanpa dukungan finansial. Jika seorang insinyur menuntut gaji layak karena membangun gedung-gedung tinggi, dan dokter menuntut bayaran besar karena menyelamatkan nyawa, maka seorang guru yang bertanggung jawab mencetak insinyur dan dokter malah dianggap berlebihan ketika menginginkan kehidupan yang lebih baik.
Bagian 2: Realitas Ekonomi Seorang Guru
Panggilan hati memang mulia, tetapi apakah dengan panggilan hati seseorang bisa membayar listrik? Apakah dengan semangat mencerdaskan bangsa seorang guru bisa mengisi saldo e-money untuk membayar tol menuju sekolah? Apakah motivasi mengajar bisa dikonversi menjadi kebutuhan pokok sehari-hari? Inflasi tidak pernah peduli dengan panggilan hati, dan pedagang di pasar tidak akan menerima bayaran dengan dalih “saya adalah seorang pendidik yang berkorban demi bangsa.”
Bagian 3: Mentalitas "Kalau Nggak Suka, Berhenti Aja"
Ketika seorang pegawai bank menuntut kenaikan gaji, ia dianggap sebagai bagian dari sistem ekonomi yang normal. Ketika seorang buruh berdemo meminta upah layak, ada solidaritas yang mendukungnya. Namun, ketika seorang guru menyuarakan hal yang sama, masyarakat malah beramai-ramai menyarankan untuk resign saja. Apakah artinya pendidikan tidak cukup penting untuk diperjuangkan? Ataukah profesi guru memang dipandang hanya sebagai aktivitas sosial yang bisa dilakukan secara sukarela?
Bagian 4: Ilusi Pembangunan SDM
Setiap tahun, pemerintah dengan gagah menyatakan bahwa pembangunan SDM adalah prioritas utama. Berbagai konferensi diadakan, seminar di hotel-hotel mewah digelar, dan pidato tentang pendidikan selalu menjadi sorotan utama. Namun, ketika berbicara tentang anggaran, peningkatan kesejahteraan guru selalu menjadi isu yang dilempar ke angin. Ada banyak dalih: anggaran terbatas, masih banyak sektor lain yang harus diperhatikan, atau bahwa guru seharusnya mengandalkan idealisme.
Bagian 5: Kontradiksi dalam Sistem
Pendidikan yang berkualitas membutuhkan tenaga pengajar yang berkualitas. Untuk mendapatkan tenaga pengajar yang berkualitas, diperlukan sistem yang mendukung kesejahteraan mereka. Namun, bagaimana mungkin seseorang bisa mengajar dengan optimal jika setiap bulan ia harus pusing memikirkan biaya hidup? Mengharapkan guru yang profesional dengan gaji yang tidak mencukupi adalah seperti mengharapkan keajaiban—sebuah utopia di tengah realitas yang kejam.
Bagian 6: Konsekuensi dari Ketidakpedulian
Ketika kualitas pendidikan menurun, masyarakat berbondong-bondong menyalahkan guru. Jika hasil ujian nasional jeblok, maka guru yang dipertanyakan. Jika anak-anak lebih sibuk bermain gadget daripada belajar, guru yang dikritik. Namun, di saat yang sama, mereka enggan untuk mendukung perbaikan kondisi kerja para guru. Bagaimana mungkin seseorang bisa menyalahkan kualitas pendidikan sementara mereka sendiri tidak peduli dengan kesejahteraan orang-orang yang bertanggung jawab atas pendidikan itu?
Bagian 7: Mimpi Utopis yang Tak Pernah Jadi Nyata
Masyarakat Indonesia ingin maju, ingin bersaing di kancah global, ingin mencetak generasi emas yang bisa membawa negeri ini ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, di saat yang sama, mereka enggan untuk mengakui bahwa kemajuan hanya bisa terjadi jika tenaga pendidik diberikan penghargaan yang layak. Kita berbicara tentang visi besar, tetapi gagal dalam menyiapkan fondasi yang kokoh.
Pendekatan Satir: Masa Depan Guru yang Lebih “Ideal”
Mungkin di masa depan, profesi guru akan benar-benar menjadi kerja sosial. Tidak ada gaji, hanya sekadar makan siang gratis dan ucapan terima kasih. Mungkin, setiap guru akan mendapat kartu "penghargaan moral" yang bisa ditukarkan dengan rasa hormat di media sosial. Atau mungkin, teknologi AI akan mengambil alih dan manusia tidak perlu lagi terlibat dalam pendidikan. Karena toh, siapa yang peduli jika SDM tidak berkembang? Selama ada konten viral dan hiburan murah, kehidupan akan terus berjalan.
[Panutup] Pendidikan bukanlah sekadar serangkaian kurikulum atau target nilai. Pendidikan adalah tentang membangun manusia. Dan manusia yang membangun manusia lain juga membutuhkan kehidupan yang layak. Jika kita benar-benar ingin melihat Indonesia maju, maka sudah saatnya kita berhenti memperlakukan guru sebagai sosok yang harus bertahan dengan idealisme semata. Kesejahteraan mereka adalah investasi jangka panjang, bukan sekadar beban anggaran. Jika tidak, kita hanya akan terus berjalan dalam lingkaran setan—membicarakan perubahan tanpa pernah benar-benar mengusahakannya.
0 Komentar