Orang yang Mengkritik oleh Guru untuk Membangun Sekolah Malah Dianggap Orang yang Membenci


 

Di sebuah sekolah kecil yang terletak di pinggiran kota, terdapat seorang guru yang dikenal sebagai sosok penuh dedikasi. Namanya Pak Rahmat. Ia mengajar dengan sepenuh hati dan tak pernah lelah memikirkan cara untuk membuat sekolah tempatnya mengabdi menjadi lebih baik. Namun, ironisnya, justru ia sering kali dianggap sebagai biang masalah karena keberaniannya mengutarakan kritik.

Pak Rahmat adalah tipe guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga memperhatikan kondisi sekolah secara keseluruhan. Ia sering mengamati bahwa banyak hal yang perlu diperbaiki: fasilitas yang rusak, sistem yang kurang efektif, hingga pola komunikasi yang kadang tak berjalan baik antara guru, siswa, dan pihak manajemen sekolah. Sayangnya, keberaniannya menyuarakan hal ini sering kali diartikan sebagai bentuk kebencian atau perlawanan oleh sebagian orang, terutama oleh beberapa rekan guru dan pihak administrasi.

“Kritik itu seperti api,” ujar salah satu kolega Pak Rahmat suatu hari. “Kalau tidak hati-hati, bisa membakar semuanya. Dan Pak Rahmat terlalu sering bermain dengan api.”

Namun, Pak Rahmat tak pernah berniat membakar apa pun. Sebaliknya, ia ingin menerangi jalan yang selama ini gelap. Ia percaya bahwa sekolah adalah tempat belajar, bukan hanya bagi siswa, tetapi juga bagi para guru dan manajemen. Setiap kritik yang ia sampaikan adalah demi kemajuan bersama, bukan untuk menjatuhkan siapa pun.

Suatu hari, dalam sebuah rapat guru, Pak Rahmat mengangkat isu tentang minimnya buku bacaan di perpustakaan sekolah. Ia menunjukkan data bahwa koleksi buku tidak pernah diperbarui selama lima tahun terakhir, sementara minat baca siswa terus menurun. “Bagaimana kita bisa membangun budaya literasi kalau fasilitas kita begini?” tanyanya. Suaranya tegas, tetapi tidak menghakimi.

Namun, respons yang ia terima jauh dari yang ia harapkan. Beberapa guru menganggapnya terlalu kritis, bahkan menganggap ia menyalahkan pihak manajemen. “Pak Rahmat selalu saja mencari-cari kesalahan,” bisik salah satu guru kepada rekan di sebelahnya. “Seolah-olah dia saja yang peduli pada sekolah ini.”

Kritik Pak Rahmat mulai dianggap sebagai ancaman. Pihak manajemen sekolah, yang merasa tersudut, mulai memandangnya dengan curiga. Setiap usulan yang ia ajukan dianggap sebagai serangan. Setiap ide yang ia lontarkan dicurigai memiliki agenda tersembunyi. Padahal, niat Pak Rahmat sederhana: ia hanya ingin sekolah ini menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang.

Ketegangan memuncak ketika Pak Rahmat mengusulkan transparansi dalam pengelolaan anggaran sekolah. Ia menyarankan agar laporan keuangan dipublikasikan kepada semua guru dan staf, agar semua orang tahu ke mana uang sekolah digunakan. “Ini bukan soal tidak percaya,” katanya dalam rapat. “Tapi dengan transparansi, kita bisa membangun kepercayaan yang lebih kuat.”

Namun, usulannya disambut dengan dingin. Beberapa orang bahkan mulai menyebarkan rumor bahwa Pak Rahmat ingin mengambil alih kendali sekolah. “Dia ingin jadi kepala sekolah, makanya dia sibuk mengkritik,” ujar seorang guru dengan nada sinis.

Pak Rahmat merasa terpojok. Niat baiknya untuk membangun sekolah justru membuatnya menjadi musuh bagi sebagian orang. Ia mulai bertanya-tanya, apakah kritiknya benar-benar tidak diperlukan? Ataukah orang-orang di sekitarnya yang terlalu takut menghadapi kenyataan?

Salah satu siswa, Rina, suatu hari bertanya kepada Pak Rahmat, “Kenapa Bapak sering dimarahi guru-guru lain? Padahal, Bapak kan cuma ingin sekolah ini lebih baik.”

Pak Rahmat tersenyum pahit. “Kadang, Rina, orang lebih suka mendengar hal-hal yang menyenangkan daripada hal-hal yang benar. Tapi Bapak percaya, kebenaran itu penting, meskipun menyakitkan.”

Waktu berlalu, dan tekanan terhadap Pak Rahmat semakin besar. Ia mulai dikucilkan oleh beberapa rekan kerja. Di ruang guru, tak ada lagi yang mengajaknya berbicara. Di rapat, usulannya sering kali diabaikan. Namun, ia tetap teguh pada pendiriannya. Baginya, pendidikan adalah tentang keberanian untuk berubah, bukan tentang kenyamanan.

Pada akhirnya, kepala sekolah memanggil Pak Rahmat untuk berbicara secara pribadi. “Pak Rahmat,” katanya dengan nada serius. “Saya tahu Anda punya niat baik. Tapi cara Anda mengkritik membuat banyak orang merasa tidak nyaman. Saya harap Anda bisa lebih bijaksana dalam menyampaikan pendapat.”

Pak Rahmat mengangguk pelan. Ia mengerti maksud kepala sekolah, tetapi ia juga merasa bahwa kritiknya tidak seharusnya dianggap sebagai ancaman. “Saya akan berusaha lebih bijaksana, Pak,” jawabnya. “Tapi saya harap, kritik saya tidak diartikan sebagai kebencian. Karena saya mencintai sekolah ini, dan saya ingin yang terbaik untuk kita semua.”

Kepala sekolah terdiam sejenak, lalu berkata, “Saya percaya pada niat Anda, Pak Rahmat. Tapi tidak semua orang siap mendengar kritik, meskipun itu benar.”

Kisah Pak Rahmat adalah potret kecil dari fenomena yang sering terjadi di banyak tempat, tidak hanya di sekolah. Kritik yang seharusnya menjadi alat untuk membangun, sering kali dianggap sebagai ancaman. Orang yang berani berbicara, seperti Pak Rahmat, sering kali harus menghadapi risiko dikucilkan atau disalahpahami.

Namun, meskipun menghadapi banyak rintangan, Pak Rahmat tidak menyerah. Ia terus mengajar dengan sepenuh hati, dan ia terus mengkritik ketika perlu, karena ia tahu bahwa diam bukanlah pilihan. Baginya, mencintai berarti berani berkata jujur, meskipun itu menyakitkan.

 

Posting Komentar

0 Komentar