Kajian Filosofis Film Jepang Forget Me Not

 


Film Forget Me Not (2015) karya Kei Horie adalah sebuah karya sinematik yang menggugah pikiran, menggali tema-tema mendalam tentang keberadaan manusia, memori, dan relasi antarmanusia. Diadaptasi dari novel oleh Mizuho Hirayama, film ini membawa penonton ke dalam sebuah perjalanan emosional dan intelektual yang mengundang refleksi mendalam tentang kehidupan dan hubungan. Kajian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dimensi filosofis film, dengan mengintegrasikan gagasan-gagasan eksistensialisme, fenomenologi, dan psikologi memori.

Sinopsis Singkat

Film ini menceritakan kisah Takashi Hayama, seorang siswa SMA yang bertemu dengan Azusa Oribe, seorang gadis yang misterius dan menawan. Azusa memiliki kondisi unik: ia tidak bisa diingat oleh siapa pun yang bertemu dengannya. Bahkan setelah pertemuan yang intim, memori orang-orang tentangnya akan menghilang. Takashi, meskipun terjebak dalam realitas ini, berusaha menjaga koneksi emosional dengan Azusa. Kisah ini berkembang menjadi perjalanan tentang bagaimana hubungan manusia dapat bertahan meskipun terbatas oleh memori dan waktu.

Tema Sentral: Keberadaan dan Identitas

Pada inti cerita, film ini memanfaatkan kondisi Azusa untuk mengeksplorasi konsep keberadaan. Dalam filsafat, pertanyaan tentang apa artinya "ada" telah menjadi pusat perhatian banyak pemikir, seperti Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger. Azusa menjadi simbol individu yang tidak memiliki jejak eksistensial di dunia, karena keberadaannya hanya sesaat dalam memori orang lain. Hal ini mengarah pada pertanyaan mendalam:

  • Apakah keberadaan seseorang ditentukan oleh ingatan orang lain?

  • Jika tidak ada yang mengingat kita, apakah keberadaan kita menjadi sia-sia?

Heidegger dalam Being and Time menekankan bahwa keberadaan manusia (atau Dasein) selalu berada dalam konteks sosial dan temporal. Manusia tidak hanya "ada," tetapi "ada bersama" (Mitsein) dengan yang lain. Dalam konteks ini, kondisi Azusa menunjukkan keterputusan eksistensial dari jaringan sosial manusia. Ia menjadi entitas yang terisolasi, meskipun secara fisik ia ada di dunia.

Namun, Azusa juga menjadi lambang keberadaan murni tanpa keterikatan dengan memori kolektif. Sartre dalam Being and Nothingness menyatakan bahwa manusia bebas untuk menciptakan esensinya sendiri, dan keberadaan Azusa mencerminkan kebebasan ini. Meskipun ia dilupakan, ia tetap memiliki keberadaan intrinsik yang melampaui memori orang lain.

Fenomenologi Memori dan Hubungan

Kondisi Azusa mengarahkan kita pada diskusi fenomenologis tentang memori. Memori memainkan peran penting dalam membentuk identitas dan hubungan manusia. Maurice Merleau-Ponty, seorang filsuf fenomenologi, berpendapat bahwa pengalaman kita tentang dunia dan orang lain dimediasi oleh persepsi dan memori. Dalam kasus Azusa, ketiadaan memori tentang dirinya mengaburkan hubungan yang ia bentuk dengan orang lain.

Namun, Takashi menunjukkan resistensi terhadap fenomena ini. Ia berusaha mempertahankan ingatan tentang Azusa melalui catatan dan usaha reflektif. Ini menunjukkan bagaimana manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan makna bahkan dalam kondisi yang tampaknya tidak masuk akal. Upaya Takashi mencerminkan keinginan manusia untuk melawan kefanaan dan melestarikan sesuatu yang berarti.

Makna Cinta dalam Kondisi Ketakteringatan

Cinta antara Takashi dan Azusa menjadi aspek emosional yang menonjol dalam film ini. Cinta, dalam konteks ini, menjadi tindakan pemberian makna terhadap keberadaan seseorang. Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving menekankan bahwa cinta sejati adalah tindakan aktif untuk melihat, memahami, dan merawat keberadaan orang lain. Takashi mencintai Azusa meskipun ia tahu bahwa hubungan mereka akan terhapus dari memori.

Ini juga mengingatkan pada gagasan cinta dalam filsafat Emmanuel Levinas. Menurut Levinas, hubungan etis dengan "yang lain" melibatkan pengakuan terhadap keberadaan unik mereka, bahkan ketika mereka tidak dapat sepenuhnya dipahami atau "dimiliki". Takashi tidak melihat Azusa sebagai seseorang yang harus "dimiliki," melainkan sebagai keberadaan yang layak untuk dihargai, meskipun dunia menolak untuk mengingatnya.

Kritik terhadap Masyarakat yang Melupakan

Film ini juga dapat dilihat sebagai alegori tentang masyarakat modern yang melupakan. Dalam era informasi yang serba cepat, manusia sering kali kehilangan kapasitas untuk mengingat hal-hal yang bermakna. Azusa menjadi metafora untuk nilai-nilai atau individu yang terlupakan dalam arus besar kehidupan.

Filsuf Zygmunt Bauman dalam Liquid Modernity mengemukakan bahwa masyarakat modern cenderung mengedepankan fleksibilitas dan mobilitas, tetapi mengorbankan kedalaman hubungan dan ingatan kolektif. Dalam dunia seperti ini, Azusa merepresentasikan hal-hal yang indah dan bermakna, tetapi sering kali diabaikan atau dilupakan oleh masyarakat yang sibuk dengan dirinya sendiri.

Eksplorasi Psikologi: Trauma dan Keterhubungan

Kondisi Azusa juga dapat dipahami melalui lensa psikologi. Hilangnya memori tentang dirinya oleh orang lain dapat dianalogikan dengan pengalaman trauma, di mana individu merasa tidak terlihat atau diabaikan. Trauma sering kali melibatkan perasaan keterasingan dan kurangnya pengakuan dari orang lain.

Namun, hubungan Azusa dengan Takashi menunjukkan bagaimana koneksi manusia dapat menjadi penyembuh. Psikolog Carl Rogers menekankan pentingnya hubungan yang otentik dan empatik dalam proses penyembuhan. Dalam film ini, Takashi berfungsi sebagai sosok yang memvalidasi keberadaan Azusa, bahkan ketika dunia melupakannya.

Simbolisme dan Estetika Visual

Secara visual, Forget Me Not menggunakan elemen-elemen simbolis untuk memperkuat tema-temanya. Misalnya, cahaya matahari yang sering menerangi Azusa dapat ditafsirkan sebagai simbol keberadaan yang sementara namun indah. Dalam estetika Jepang, konsep "mono no aware" (kesadaran akan kefanaan) sering kali digunakan untuk menghargai keindahan dalam hal-hal yang sementara.

Azusa, seperti bunga yang mekar sebentar, mengajarkan Takashi dan penonton untuk menghargai momen-momen kecil dalam kehidupan, bahkan jika mereka tidak bertahan lama.

Kesimpulan: Merangkul Ketakteringatan

Forget Me Not adalah refleksi mendalam tentang apa artinya menjadi manusia dalam dunia yang penuh dengan kefanaan. Film ini mengingatkan kita bahwa keberadaan seseorang tidak ditentukan oleh seberapa lama mereka diingat, tetapi oleh dampak yang mereka tinggalkan pada hati dan jiwa orang lain.

Takashi dan Azusa menunjukkan bahwa cinta, keberanian, dan makna dapat ditemukan bahkan dalam kondisi yang paling terbatas. Dengan menggabungkan tema-tema eksistensialisme, fenomenologi, dan estetika Jepang, film ini menjadi pengingat bahwa hidup, meskipun sementara, memiliki keindahannya sendiri.

Kajian ini, meskipun hanya sekilas, berupaya untuk menggali kedalaman makna yang ditawarkan oleh Forget Me Not, sebuah karya seni yang tidak hanya menghibur tetapi juga menginspirasi refleksi filosofis dan emosional tentang kehidupan.

Posting Komentar

0 Komentar