Cinta Pendidikan: Retorika atau Komitmen?

 


Cinta pendidikan. Ungkapan yang sering terdengar di seminar, pidato, atau perkenalan guru baru. Namun, seberapa sering cinta itu diuji oleh kenyataan? Lebih penting lagi, apakah cinta itu hanya menjadi retorika kosong ketika orang-orang yang mengaku memilikinya meninggalkan profesi guru sebelum genap satu dekade? Dalam ironi ini, kita tidak hanya melihat satu individu, melainkan fenomena yang lebih luas: cinta yang luntur oleh tantangan atau, mungkin, cinta yang memang tak pernah ada.

Seseorang yang mengaku cinta pendidikan pasti paham, pendidikan bukan sekadar teori. Itu adalah kerja keras, dedikasi, dan kesetiaan terhadap sebuah misi. Tapi tunggu, apakah cukup hanya mengaku cinta pendidikan jika akhirnya menyerah pada realitas yang, meskipun keras, adalah bagian dari komitmen itu sendiri? Jika seorang petani yang mencintai ladangnya tetap bertahan di tengah musim kemarau, mengapa seorang guru yang mencintai pendidikan tidak bertahan saat menghadapi badai kurikulum, gaji rendah, atau tekanan birokrasi?

Banyak alasan yang diberikan untuk membenarkan langkah mundur ini. Gaji kecil adalah salah satu yang paling sering dikemukakan. Tetapi bukankah sejak awal profesi guru dikenal sebagai panggilan, bukan jalan pintas menuju kekayaan? Jika cinta pendidikan memang tulus, mengapa gaji menjadi penghalang? Di sini, sarkasme merayap masuk. Barangkali, "cinta pendidikan" adalah sebuah pernyataan romantis tanpa pemahaman realistis. Seperti janji pernikahan yang diucapkan di altar, tetapi dengan niat untuk menyerah ketika cobaan pertama datang.

Kemudian, ada yang beralasan bahwa sistem pendidikan yang penuh tekanan dan tuntutan administrasi menjadi penyebab utama mereka mundur. Benar, beban administrasi bisa menyulitkan, tetapi bukankah itu adalah bagian dari medan perjuangan yang sama? Apakah seorang pelari menyerah karena lintasannya berbatu? Atau apakah seorang dokter menyerah karena jam kerjanya panjang? Jika cinta pendidikan hanya kuat di atas podium pidato tetapi rapuh dalam kenyataan sehari-hari, maka cinta itu pantas dipertanyakan.

Ironinya, banyak yang meninggalkan profesi guru dan tetap mengklaim diri sebagai pencinta pendidikan. Mereka pindah ke jalur lain, seperti menjadi pelatih, pembicara, atau bahkan pengusaha, tetapi masih membawa label "pendidikan" di depan pekerjaan mereka. Hebatnya, sebagian bahkan berani mengkritik guru yang bertahan, seolah-olah meninggalkan profesi guru memberi mereka hak moral untuk menggurui. Ini seperti seorang koki yang keluar dari dapur tetapi tetap berbicara tentang resep terbaik tanpa pernah lagi menyingsingkan lengan baju untuk memasak.

Namun, mari kita berpikir sejenak. Mungkin mereka yang meninggalkan profesi guru tidak benar-benar salah. Bisa jadi sistem pendidikan itu sendiri adalah labirin penuh jebakan yang membuat seseorang merasa terjebak daripada dipanggil. Gaji rendah, penghargaan minim, tekanan orang tua, dan harapan yang berlebihan dari masyarakat sering kali membuat seorang guru merasa kehilangan cinta terhadap pekerjaan yang awalnya mereka anggap sebagai panggilan. Apakah ini berarti mereka tidak cinta pendidikan, ataukah mereka korban sistem yang gagal mencintai mereka kembali?

Mungkin kita perlu mendefinisikan ulang cinta pendidikan. Apakah itu berarti bertahan di kelas apa pun yang terjadi? Ataukah itu berarti mencari cara lain untuk berkontribusi, bahkan jika itu berarti meninggalkan papan tulis? Jika kita mendefinisikan cinta pendidikan sebagai pengabdian tanpa syarat, maka mereka yang menyerah lebih awal memang tidak bisa mengklaim cinta itu. Tetapi jika cinta itu fleksibel, mereka yang meninggalkan profesi guru mungkin saja masih berkontribusi dalam cara lain yang tidak kalah penting.

Kita juga tidak bisa mengabaikan pengaruh realitas sosial. Dalam banyak budaya, menjadi guru sering dianggap pekerjaan yang "cukup baik", tetapi bukan profesi prestisius. Tekanan dari keluarga, pasangan, atau bahkan masyarakat untuk mencari pekerjaan yang lebih "menguntungkan" sering kali menjadi alasan seseorang meninggalkan profesi guru. Dalam konteks ini, cinta pendidikan mungkin kalah oleh cinta pada keluarga atau keinginan pribadi untuk hidup yang lebih nyaman.

Pada akhirnya, cinta pendidikan bukanlah sesuatu yang bisa diukur dalam tahun atau jumlah jam mengajar. Ini adalah pertanyaan tentang dampak. Apakah mereka yang meninggalkan profesi guru benar-benar berhenti berkontribusi pada pendidikan, ataukah mereka hanya memilih jalur yang berbeda? Jika mereka berhenti total dan mengalihkan perhatian mereka ke bidang yang sama sekali tidak berkaitan, maka klaim mereka tentang cinta pendidikan memang layak dipertanyakan. Tetapi jika mereka masih berkontribusi, meskipun dengan cara yang berbeda, maka cinta itu mungkin masih ada, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Namun demikian, ada sesuatu yang harus diakui: mereka yang bertahan dalam profesi guru, meskipun menghadapi segala tantangan, memiliki hak moral yang lebih besar untuk berbicara tentang cinta pendidikan. Mereka adalah pelari maraton yang menyelesaikan lintasan, meskipun kaki mereka berdarah. Mereka adalah petani yang tetap menanam meskipun hujan tak kunjung turun. Mereka adalah bukti nyata bahwa cinta sejati tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak.

Jadi, bagi mereka yang mengaku cinta pendidikan tetapi tidak bertahan menjadi guru selama 10 tahun, pertanyaannya sederhana: apakah cinta itu sungguh ada, ataukah itu hanya kata-kata indah yang hilang diterpa angin kenyataan?

Posting Komentar

0 Komentar