Indonesia Jadi Pasar Bukan Produsen, Kritik atas Mentalitas Importir Kelas Elit

Dalam menelaah struktur ekonomi Indonesia kontemporer, satu pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: mengapa kelas ekonomi atas, terutama kelompok kaya dan berkuasa secara ekonomi di Indonesia, lebih memilih mengimpor barang dari Tiongkok ketimbang membangun merek nasional dan mengembangkan alat industri lokal? Pertanyaan ini bukan sekadar cerminan dari kecemasan nasionalistik, tetapi menyingkap akar-akar struktural dari ketergantungan ekonomi, pola pikir kapitalistik sempit, dan kegagalan historis dalam membangun basis industri nasional yang mandiri.


Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya alam dan jumlah penduduk yang besar kerap dikonstruksikan sebagai negara dengan prospek industri dan ekonomi yang menjanjikan. Namun, potensi tersebut tak selalu bertransformasi menjadi kekuatan produksi yang berdikari. Sejak dekade 1980-an hingga hari ini, kita menyaksikan proses deindustrialisasi dini, yakni gejala berkurangnya kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa terlebih dahulu mencapai kemapanan industri. Dalam konteks inilah, fenomena ketergantungan terhadap barang impor khususnya dari Tiongkok menjadi bagian dari narasi besar tentang stagnasi struktural.

Tiongkok, sejak implementasi reformasi ekonomi di bawah Deng Xiaoping, telah menjelma menjadi pabrik dunia. Mereka menggabungkan biaya produksi yang murah dengan efisiensi logistik dan kebijakan negara yang sangat strategis. Produk-produk mereka dari elektronik, peralatan rumah tangga, hingga alat industri membanjiri pasar global, termasuk Indonesia. Di saat negara-negara lain membatasi dan menyaring arus barang asing demi perlindungan industri dalam negerinya, Indonesia justru membuka keran selebar-lebarnya. Kelas ekonomi atas Indonesia, khususnya para pengusaha besar, memanfaatkan situasi ini untuk mendulang untung cepat dengan menjadi importir produk Tiongkok. Motif mereka sederhana namun destruktif: margin keuntungan tinggi, risiko rendah, dan minim inovasi.

Struktur ekonomi Indonesia memberi ruang yang sangat luas bagi peran oligarki ekonomi. Kelompok-kelompok ini, yang terdiri dari konglomerat lama dan aktor-aktor baru pasca-reformasi, memainkan peran ganda: sebagai pemilik modal dan sebagai pengendali kebijakan. Mereka berjejaring dengan elit politik dalam suatu pola simbiosis mutualistik yang menyandera kepentingan nasional. Dalam konteks ini, membangun merek nasional dianggap tidak efisien secara finansial karena memerlukan waktu panjang, investasi besar dalam riset dan pengembangan (R&D), serta kesabaran dalam membangun kepercayaan konsumen. Sebaliknya, mengimpor barang murah dan menjualnya dengan margin besar adalah praktik bisnis yang lebih menarik.

Tindakan tersebut menunjukkan tidak hanya kemalasan inovatif, tetapi juga ketidaktertarikan pada pembangunan jangka panjang. Dalam sistem ekonomi-politik seperti ini, akumulasi kapital bukan diarahkan untuk memperkuat struktur produksi nasional, tetapi lebih kepada konsumsi dan re-ekspor barang asing dengan nilai tambah semu. Dalam hal ini, elite bisnis Indonesia menunjukkan pola pikir rentier, yakni memperoleh keuntungan bukan dari produktivitas dan kreativitas, melainkan dari rente ekonomi hasil monopoli impor, privilege lisensi, atau relasi kuasa.

Ketergantungan ini diperparah oleh absennya kebijakan industri nasional yang konsisten. Sejak Orde Baru hingga reformasi, Indonesia tidak pernah benar-benar membangun peta jalan industrialisasi yang kokoh. Industri strategis yang sempat tumbuh di bawah payung negara (seperti IPTN, PINDAD, dan Krakatau Steel) mengalami stagnasi karena privatisasi, tekanan pasar bebas, dan kekacauan kebijakan. Alih-alih memperkuat industri dasar dan menengah, pemerintah justru mengandalkan investasi asing dan pasar global sebagai motor pembangunan. Di sinilah jebakan ketergantungan bekerja: negara tidak memiliki kontrol atas teknologi, pasar dikuasai produk impor, dan masyarakat dibentuk menjadi konsumen pasif.

Sementara itu, Tiongkok melakukan sebaliknya. Negara tersebut melindungi industri dalam negerinya dengan kebijakan yang ketat, memberikan subsidi pada sektor strategis, dan mewajibkan alih teknologi pada setiap investasi asing. Mereka menumbuhkan merek nasional seperti Huawei, Xiaomi, atau BYD bukan dalam semalam, tetapi melalui dukungan negara yang konsisten dan ekosistem riset yang berkembang. Dengan demikian, ketika barang-barang Tiongkok membanjiri Indonesia, mereka bukan sekadar produk, melainkan hasil dari strategi nasional yang terencana.

Kegagalan kelas kaya Indonesia dalam membangun merek juga berkaitan dengan krisis identitas budaya industri. Tidak ada dorongan kuat untuk menciptakan produk yang mencerminkan karakter nasional, apalagi untuk menantang hegemoni merek asing. Merek-merek lokal seringkali terjebak dalam imitasi dan tidak mampu naik kelas karena keterbatasan modal, akses teknologi, serta lemahnya perlindungan terhadap produk dalam negeri. Sementara itu, merek asing baik dari Barat maupun Tiongkok menyediakan kualitas tinggi dengan harga kompetitif, sehingga memenangkan preferensi pasar.

Dari sudut pandang teori dependensia (dependency theory), kondisi ini menggambarkan relasi ekonomi yang timpang antara pusat dan pinggiran. Indonesia berperan sebagai pasar, bukan produsen; sebagai konsumen, bukan inovator. Dalam skema ini, pembangunan nasional terdistorsi oleh kepentingan eksternal dan kelas dalam negeri yang kolaboratif dengan kekuatan global. Ketika elite bisnis Indonesia lebih memilih menjadi agen distribusi produk Tiongkok daripada menciptakan produk sendiri, maka mereka sedang meneguhkan posisi Indonesia sebagai pinggiran dalam sistem kapitalisme global.

Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan muncul dampak struktural jangka panjang: lemahnya kapasitas inovasi nasional, menurunnya kemampuan negara menciptakan lapangan kerja berkualitas, serta kehilangan kedaulatan ekonomi. Lebih jauh lagi, ketergantungan pada impor akan melemahkan posisi tawar Indonesia dalam hubungan dagang internasional. Ketika negara tidak memiliki produk unggulan, maka ia tidak memiliki kekuatan dalam negosiasi global. Ini adalah bentuk kemiskinan struktural yang dibungkus dalam statistik pertumbuhan ekonomi semu.

Solusi terhadap masalah ini tidak bisa parsial. Diperlukan transformasi menyeluruh dalam cara pandang, strategi, dan kemauan politik. Negara harus hadir bukan sekadar sebagai regulator, tetapi sebagai arsitek pembangunan. Industri strategis harus dibangun dan dilindungi. Investasi dalam riset dan teknologi harus menjadi prioritas, bukan beban anggaran. Pendidikan vokasi dan politeknik harus diperkuat untuk menciptakan tenaga kerja terampil. Insentif bagi pengusaha lokal yang berorientasi pada produksi dan ekspor harus diperluas.

Namun yang terpenting adalah mengubah orientasi kelas kaya Indonesia. Mereka tidak bisa lagi bersembunyi di balik dalih efisiensi dan pasar bebas. Dalam negara berkembang, tanggung jawab kelas ekonomi atas tidak semata mencari laba, tetapi juga memikul beban sejarah untuk membangun bangsa. Kelas ini harus didorong baik melalui kebijakan, pajak, maupun tekanan publik—untuk berinvestasi dalam inovasi, membangun merek lokal, dan menciptakan ekosistem industri yang berkelanjutan.

Perubahan juga menuntut keberanian politik. Pemerintah harus berani membatasi impor barang konsumsi yang menyaingi produk dalam negeri, menerapkan standar mutu nasional, serta memberikan perlindungan hukum dan pasar bagi UMKM dan industri nasional. Ini bukan bentuk proteksionisme naif, tetapi langkah strategis untuk memperkuat struktur ekonomi nasional. Banyak negara maju, termasuk Tiongkok sendiri, memulai industrialisasi mereka dengan perlindungan pasar domestik yang ketat.

Indonesia memiliki semua bahan dasar untuk menjadi negara industri besar: sumber daya alam yang melimpah, populasi muda yang besar, dan pasar domestik yang kuat. Yang kurang adalah visi dan keteguhan untuk keluar dari jebakan ketergantungan. Dan selama kelas kaya Indonesia lebih tertarik menjadi pedagang barang impor ketimbang pencipta nilai, maka mimpi kemandirian ekonomi hanya akan menjadi wacana kosong.

Dengan memahami akar permasalahan ini secara struktural dan historis, kita bisa mulai merumuskan strategi pembangunan yang lebih berdaulat. Indonesia tidak bisa terus-menerus menjadi pasar dari produksi orang lain. Sudah saatnya kita menjadi produsen bagi kebutuhan kita sendiri dan dunia. Dan itu hanya bisa terjadi jika elite ekonomi kita bersedia mengubah orientasi mereka: dari pengejar rente menjadi pencipta nilai; dari importir menjadi industrialis; dari konsumen barang Tiongkok menjadi penemu masa depan Indonesia.

Kajian ini bukan sekadar kritik terhadap perilaku individu atau kelompok, melainkan ajakan untuk merekonstruksi kembali struktur ekonomi kita secara menyeluruh. Sebab hanya dengan kesadaran kolektif, keberpihakan kebijakan, dan kemauan membangun merek serta alat produksi sendiri, Indonesia dapat lepas dari bayang-bayang ketergantungan dan mewujudkan cita-cita kemandirian ekonomi yang sejati.

Posting Komentar

0 Komentar