Disclaimer: Individu yang kompeten walau Perekrutmen tidak kompeten, maka mereka akan keluar karena lingkungan yang kurang kompetitif secara sportif. Tentunya yang sudah keluar akan lebih cepat dan kerjaannya.
Fenomena terjadinya proses rekrutmen yang dijalankan oleh individu tidak kompeten dan berujung pada terpilihnya kandidat yang juga tidak kompeten merupakan bentuk dari degradasi nilai-nilai amanah dan keadilan yang ditekankan secara tegas dalam ajaran Islam. Dalam konteks manajerial dan kelembagaan kontemporer, hal ini tidak hanya menyebabkan kemunduran organisasi secara teknis dan struktural, tetapi juga menjadi bentuk pembangkangan terhadap prinsip-prinsip ilahiah yang menempatkan tanggung jawab sebagai pusat dari kepemimpinan dan pengelolaan sumber daya manusia. Kajian ini akan membahas fenomena tersebut dalam kerangka konseptual Islam, dengan menelusuri dasar-dasar normatif dalam Al-Qur'an dan Hadis, sejarah pengelolaan umat dalam masa kenabian dan khulafaur rasyidin, serta menyandingkannya dengan realitas kontemporer yang menunjukkan betapa jauhnya praktik rekrutmen dari nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi dalam Islam.
Dalam Islam, kepemimpinan dan wewenang adalah amanah. Al-Qur’an secara eksplisit menegaskan bahwa amanah harus diberikan kepada ahlinya. Dalam Surah An-Nisa ayat 58, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” Ayat ini menjadi prinsip dasar bahwa setiap penugasan, termasuk di dalamnya proses rekrutmen, tidak boleh dijadikan ruang untuk memperkuat kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi harus berdasarkan kelayakan, keahlian, dan keadilan. Ketika seorang yang tidak memiliki kelayakan diberikan tugas untuk merekrut, maka ia telah memulai rangkaian pelanggaran amanah yang secara bertahap akan merusak struktur organisasi dan pada akhirnya membahayakan masyarakat luas.
Rasulullah SAW memberikan peringatan keras tentang kondisi di mana suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah bersabda: “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” Hadis ini sangat relevan untuk memahami akar dari rekrutmen disfungsional. Ketika posisi kunci dalam organisasi, terutama posisi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dipercayakan kepada individu yang tidak kompeten, maka kehancuran bukan hanya terjadi secara internal pada organisasi tersebut, tetapi juga meluas hingga berdampak pada kehidupan publik. Dalam kerangka ini, ketidakmampuan bukan hanya masalah teknis, tetapi juga merupakan pelanggaran etika dan moral keislaman.
Ketika seseorang yang tidak kompeten diberikan kewenangan untuk merekrut, ia berada dalam posisi untuk membuat penilaian terhadap orang lain, padahal ia sendiri tidak memiliki ukuran objektif tentang kompetensi. Hal ini berkaitan erat dengan konsep ghurur dalam Islam, yaitu tertipu oleh persepsi diri sendiri. Individu yang tidak kompeten sering kali mengalami ilusi superioritas, di mana mereka menganggap diri mereka mampu dan karenanya merasa berhak untuk mengambil keputusan besar seperti menentukan siapa yang layak untuk bergabung dalam organisasi. Dalam psikologi modern, hal ini dikenal sebagai efek Dunning-Kruger, namun dalam konteks keislaman, ini adalah bentuk kebodohan yang sombong, yang dalam banyak ayat disebut sebagai ciri dari orang-orang yang tidak mendapat petunjuk.
Selain aspek epistemik dan moral, terdapat pula dimensi politik yang tidak bisa diabaikan. Dalam banyak organisasi, terutama yang sudah terjebak dalam budaya birokrasi atau kekuasaan duniawi, proses rekrutmen sering dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam sistem seperti ini, individu yang tidak kompeten akan cenderung merekrut individu yang lemah secara intelektual, agar lebih mudah dikendalikan dan tidak menimbulkan ancaman terhadap posisi mereka. Ini adalah bentuk dari khianat terhadap prinsip syura dalam Islam, yaitu musyawarah untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir elite yang berkuasa.
Dalam sejarah Islam, kita melihat bagaimana Rasulullah dan para khalifah ar-rasyidun sangat berhati-hati dalam menempatkan orang dalam posisi penting. Rasulullah tidak memilih sahabat berdasarkan kedekatan personal semata, tetapi mempertimbangkan kapasitas, integritas, dan kesesuaian dengan tugas. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, masing-masing memiliki kebijakan yang ketat dalam menempatkan pemimpin daerah atau amil zakat. Bahkan Umar bin Khattab dikenal sangat keras terhadap gubernur yang tidak memenuhi amanah. Beliau akan mengevaluasi secara berkala dan tidak segan mengganti pejabat yang menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan.Ini menunjukkan bahwa dalam tradisi pemerintahan Islam yang ideal, rekrutmen adalah proses yang sakral, yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran.
Ketika proses rekrutmen didorong oleh motivasi duniawi semata—seperti nepotisme, balas budi, atau ketakutan terhadap bayang-bayang kompetensi orang lain—maka organisasi kehilangan arah spiritualnya. Dalam Islam, pekerjaan bukan hanya soal fungsi sosial, tetapi juga merupakan ibadah. Oleh karena itu, memberikan pekerjaan kepada orang yang salah bukan hanya menghasilkan disfungsi administratif, tetapi juga menjadikan pekerjaan tersebut sebagai ladang dosa. Ini sejalan dengan prinsip hisbah dalam Islam, di mana setiap aktivitas dalam kehidupan sosial harus tunduk pada pengawasan moral yang ketat.
Fenomena rekrutmen yang disfungsional juga menghasilkan efek domino. Individu yang direkrut karena ketidakmampuannya cenderung akan merekrut orang lain yang juga tidak mengancam posisinya. Terbentuklah ekosistem yang tidak hanya melanggengkan ketidakmampuan, tetapi juga menormalisasikannya. Dalam konteks ini, ketidakmampuan menjadi norma, bukan penyimpangan. Ini sangat bertentangan dengan prinsip tajdid (pembaruan) dalam Islam yang mendorong umat untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri dan institusi.
Solusi terhadap masalah ini bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga spiritual dan edukatif. Diperlukan pembangunan kesadaran kolektif bahwa rekrutmen adalah bagian dari amanah. Organisasi harus mengembangkan budaya yang menjadikan kompetensi sebagai syarat utama, bukan loyalitas sempit atau kesamaan latar belakang. Pendidikan Islam juga harus kembali menekankan pentingnya integritas, tanggung jawab, dan kejujuran dalam semua lini kehidupan, termasuk dalam proses rekrutmen.
Para pemimpin organisasi Islam harus menjadi teladan dalam menjalankan prinsip-prinsip ini. Mereka harus menunjukkan keberanian untuk mengatakan tidak kepada calon yang tidak layak, meskipun secara politik atau sosial mereka memiliki kekuatan. Mereka juga harus membuka ruang bagi evaluasi dan kritik konstruktif, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Tanpa itu, organisasi Islam hanya akan menjadi nama, tanpa ruh dan orientasi keadilan yang menjadi inti dari risalah Islam.
Dalam akhir kajian ini, kita harus mengakui bahwa kegagalan rekrutmen yang adil dan tepat dalam organisasi merupakan cerminan dari kegagalan kita dalam memahami dan mengamalkan Islam secara utuh. Ketika amanah tidak lagi menjadi kompas dalam bertindak, maka kehancuran tinggal menunggu waktu. Oleh karena itu, pembenahan sistem rekrutmen adalah bagian dari jihad institusional yang harus dijalankan oleh semua elemen umat yang sadar akan pentingnya membangun peradaban yang kuat, adil, dan berdaya saing tinggi. Tanpa itu, kita hanya akan mengulang sejarah jatuhnya peradaban karena ulah manusia yang tidak memegang amanah dan menodai prinsip keadilan dengan ketamakan, ketakutan, dan kebodohan yang dilegitimasi oleh sistem yang rusak.
0 Komentar