Di dalam ruang kelas, interaksi antara guru dan murid bukan sekadar tentang penyampaian materi pelajaran. Lebih dari itu, hubungan yang terjalin antara keduanya memiliki peran yang jauh lebih dalam dalam membentuk atmosfer pembelajaran yang kondusif. Namun, dalam banyak kasus, terdapat guru yang mengalami kesulitan menjalin hubungan dengan muridnya hingga pada titik di mana murid enggan untuk bercerita atau bahkan sekadar berinteraksi. Fenomena ini bukan sekadar permasalahan komunikasi biasa, melainkan cerminan dari berbagai faktor kompleks yang mencakup aspek psikologis, sosial, serta metode pedagogis yang digunakan oleh guru tersebut.
Ketika seorang guru mendapati dirinya berada dalam situasi di mana murid-muridnya tidak mau berbicara dengannya, ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab utama. Salah satu faktor paling mendasar adalah kurangnya rasa percaya antara murid dan guru. Kepercayaan adalah elemen penting dalam setiap hubungan interpersonal, termasuk dalam dunia pendidikan. Jika seorang murid merasa bahwa gurunya tidak dapat memahami perasaannya, tidak menghargai pendapatnya, atau bahkan tidak peduli terhadapnya, maka akan sulit bagi murid untuk merasa nyaman berbicara.
Kepercayaan ini tidak hanya dipengaruhi oleh perilaku guru dalam kesehariannya di kelas, tetapi juga oleh bagaimana ia merespons berbagai situasi yang dihadapi oleh murid. Sebagai contoh, guru yang cenderung memberikan kritik tajam tanpa memberikan pemahaman atau solusi bisa membuat murid merasa tidak aman untuk berbagi pemikirannya. Murid akan takut jika ceritanya justru berujung pada penilaian negatif dari guru, alih-alih mendapatkan dukungan yang diharapkan. Rasa takut ini akhirnya membentuk dinding pemisah yang menghambat komunikasi antara keduanya.
Selain itu, gaya komunikasi yang digunakan oleh seorang guru juga sangat berpengaruh dalam membangun keterbukaan dengan murid. Guru yang menggunakan pendekatan komunikasi yang terlalu formal dan kaku sering kali menciptakan jarak dengan murid. Murid membutuhkan suasana yang lebih hangat dan inklusif untuk dapat merasa nyaman berbicara tentang apa yang mereka alami. Sebaliknya, guru yang cenderung otoriter dan hanya memberikan instruksi tanpa mendengarkan murid dengan baik dapat membuat mereka merasa tidak dihargai. Ketika murid merasa bahwa suaranya tidak dianggap penting, maka mereka akan memilih untuk diam dan menjauh.
Hubungan guru dan murid juga tidak terlepas dari konteks sosial dan budaya di mana interaksi itu berlangsung. Dalam beberapa lingkungan sekolah, terdapat norma yang membentuk pola komunikasi tertentu antara guru dan murid. Beberapa sekolah mungkin masih mempertahankan sistem yang menempatkan guru sebagai sosok yang harus dihormati secara mutlak, tanpa adanya ruang bagi murid untuk berbicara lebih terbuka. Jika lingkungan seperti ini diperkuat, maka murid akan terbiasa untuk tidak berbagi cerita dengan gurunya karena mereka menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak perlu atau bahkan tidak pantas.
Dalam kajian psikologi pendidikan, keterbukaan murid kepada guru juga berkaitan erat dengan pendekatan yang digunakan dalam mengelola kelas. Seorang guru yang hanya berfokus pada pencapaian akademik tanpa mempertimbangkan kesejahteraan emosional muridnya akan sulit mendapatkan kepercayaan dari mereka. Murid tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan, tetapi juga dukungan emosional, terutama dalam menghadapi tantangan akademik maupun masalah pribadi. Ketika guru gagal dalam memahami aspek ini, maka murid tidak akan melihatnya sebagai figur yang dapat membantu mereka dalam kesulitan.
Penting juga untuk mempertimbangkan bagaimana pengalaman masa lalu murid dengan otoritas mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan guru. Murid yang pernah mengalami pengalaman negatif dengan figur otoritas, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah sebelumnya, cenderung akan lebih tertutup terhadap guru. Jika seorang murid pernah mendapatkan perlakuan yang tidak adil, diabaikan, atau bahkan dihukum secara berlebihan oleh guru di masa lalu, maka mereka akan membawa pengalaman tersebut dalam interaksi mereka dengan guru berikutnya. Hal ini bisa menciptakan sikap skeptis yang sulit untuk diubah jika guru tidak berusaha membangun hubungan dengan pendekatan yang lebih empatik.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan membangun hubungan berbasis empati. Guru harus mampu menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli terhadap muridnya, bukan hanya dalam aspek akademik tetapi juga dalam kehidupan pribadi mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan cara sederhana seperti mendengarkan dengan penuh perhatian ketika murid ingin berbicara, memberikan respons yang menunjukkan pemahaman, serta menciptakan suasana kelas yang mendukung dialog terbuka. Selain itu, menunjukkan sikap inklusif terhadap semua murid tanpa membeda-bedakan perlakuan juga dapat membantu menciptakan rasa nyaman bagi murid untuk berbagi cerita.
Selain membangun empati, guru juga perlu melakukan refleksi terhadap metode pengajaran dan interaksi yang mereka gunakan. Terkadang, tanpa disadari, ada kebiasaan tertentu yang justru menghambat komunikasi dengan murid. Misalnya, kebiasaan memotong pembicaraan murid sebelum mereka selesai berbicara, memberikan tanggapan yang terkesan meremehkan, atau terlalu sering menegur tanpa memberikan solusi yang membangun. Guru yang mampu mengidentifikasi kebiasaan-kebiasaan ini dan memperbaikinya akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan dari muridnya.
Menciptakan ruang aman bagi murid untuk berbicara juga menjadi aspek yang tidak kalah penting. Banyak murid yang enggan berbicara dengan guru karena mereka merasa tidak memiliki ruang yang cukup privat dan aman untuk melakukannya. Di beberapa sekolah, ruang guru atau kelas mungkin bukan tempat yang nyaman bagi murid untuk bercerita tentang masalah yang lebih personal. Oleh karena itu, guru dapat menciptakan sesi diskusi yang lebih personal, baik dalam bentuk pertemuan kecil maupun percakapan satu-satu yang tidak bersifat menginterogasi, tetapi lebih pada memberikan dukungan dan mendengarkan.
Lebih jauh, peran sekolah secara keseluruhan juga berpengaruh dalam membentuk pola komunikasi antara guru dan murid. Jika budaya sekolah lebih mendukung pendekatan yang kolaboratif dan menghargai suara murid, maka guru akan lebih mudah dalam membangun hubungan yang terbuka dengan murid-muridnya. Oleh karena itu, perlu ada keselarasan antara visi sekolah, kebijakan yang diterapkan, serta pendekatan yang digunakan oleh para pendidik dalam menjalin komunikasi dengan murid.
Pada akhirnya, seorang guru yang mendapati dirinya dalam situasi di mana murid-muridnya enggan berbicara kepadanya tidak boleh menganggapnya sebagai sesuatu yang bersifat mutlak atau tidak bisa diubah. Situasi ini lebih merupakan refleksi dari dinamika hubungan yang dapat diperbaiki dengan usaha yang tepat. Dengan membangun empati, mengubah gaya komunikasi, serta menciptakan lingkungan yang mendukung keterbukaan, guru dapat mulai mengubah pola interaksi dengan muridnya secara perlahan. Kepercayaan memang tidak bisa dibangun dalam semalam, tetapi dengan konsistensi dalam menunjukkan perhatian dan kepedulian, seorang guru dapat menciptakan ruang di mana murid merasa nyaman untuk berbicara dan berbagi cerita dengannya.
0 Komentar