Kepala Daerah yang Berkarier di Panggung Peresmian Memotong Pita

Di suatu negeri yang katanya demokratis, ada fenomena menarik yang menggelitik logika: kepala daerah yang begitu rajin memotong pita, tapi jarang memeras otak. Seakan-akan, jabatan itu bukan soal memimpin dengan visi dan misi, melainkan soal eksistensi di depan kamera. Tidak heran, jika seseorang ingin mencari kepala daerah, datanglah ke acara peresmian, bukan ke ruang kerja atau rapat strategi. Sebab, di situlah mereka bersinar—di antara kilatan flash kamera dan gemuruh tepuk tangan yang terkadang lebih keras dari dampak kebijakannya.



Bab 1: Dari Kantor ke Panggung Seremonial

Jabatan kepala daerah, dalam konsep yang ideal, adalah tugas berat yang menuntut ketekunan, kecerdasan, dan keberanian mengambil keputusan. Namun, dalam realitas satire ini, jabatan tersebut lebih mirip kontrak eksklusif sebagai bintang utama peresmian proyek. Bangunan baru? Harus ada gunting emas. Jalan raya diperbaiki? Jangan lupa plakat namanya. Sekolah direnovasi? Spanduk besar bertuliskan ‘Atas Dedikasi dan Kepemimpinan Kepala Daerah Kami’ adalah harga mutlak.

Lucunya, semakin banyak peresmian yang dilakukan, semakin kecil perhatian terhadap substansi pembangunan itu sendiri. Jalan yang baru diaspal cepat berlubang, sekolah yang direnovasi tetap minim fasilitas, rumah sakit yang megah tapi minim tenaga medis. Namun, bagi kepala daerah kita, yang penting ada foto di berita pagi dan postingan viral di media sosial.

Pergeseran peran ini menjadi semakin menarik ketika agenda kerja harian sang kepala daerah lebih banyak dihabiskan untuk menghadiri acara daripada membahas strategi. Ada rapat penting tentang ekonomi daerah? Bisa ditunda. Ada diskusi soal pengentasan kemiskinan? Bisa didelegasikan. Tapi jika ada undangan untuk peresmian proyek, itu adalah prioritas nomor satu. Kalender kerja penuh dengan acara seremonial, sementara ruang rapat yang seharusnya menjadi tempat perumusan kebijakan strategis menjadi lebih sering kosong.

Bab 2: Politik Pencitraan dan ‘Investasi Kamera’

Seorang kepala daerah yang benar-benar memikirkan pembangunan akan menghabiskan waktunya menyusun kebijakan berbasis data, memperkuat sinergi dengan berbagai pihak, dan memastikan setiap proyek benar-benar memiliki dampak. Namun, dalam kisah satire ini, kepala daerah lebih suka membangun citra daripada membangun daerah.

Maka, muncullah kebijakan ‘Investasi Kamera’. Maksudnya bukan membeli kamera, melainkan menjadikan media sebagai alat utama eksistensi. Setiap proyek harus memiliki dokumentasi yang ciamik, sudut kamera harus menguntungkan, dan tentu saja, wajah kepala daerah harus memenuhi setidaknya 50% dari setiap frame. Tak ada yang lebih penting daripada ekspresi penuh kebanggaan saat memotong pita, meskipun proyek yang diresmikan dikerjakan asal-asalan.

Lebih menarik lagi, konsep pencitraan ini bukan hanya terbatas pada media lokal. Tim media sosial yang terdiri dari staf khusus terus bekerja siang malam untuk membuat infografis, video dramatik, dan unggahan dengan narasi penuh kebanggaan. Komentar-komentar negatif dihapus, kritik ditenggelamkan oleh ribuan komentar pujian dari akun-akun anonim, dan segala bentuk kontroversi diubah menjadi narasi keberhasilan.

Tidak berhenti di situ, ada juga strategi pembangunan proyek yang dibuat agar momen peresmiannya bisa terus berlanjut. Misalnya, sebuah jembatan yang sebenarnya bisa diselesaikan dalam satu tahun, tetapi pembangunannya dipecah menjadi beberapa tahap agar bisa diresmikan berkali-kali. Tahap pertama, pemasangan tiang pancang, diresmikan. Tahap kedua, pemasangan rangka baja, diresmikan lagi. Dan ketika akhirnya bisa dilewati, ada peresmian ketiga, disertai pesta rakyat untuk memastikan elektabilitas tetap tinggi.

Bab 3: Proyek Tanpa Perencanaan, Peresmian Tanpa Esensi

Bayangkan sebuah stadion olahraga megah diresmikan dengan pesta kembang api. Semua orang bersorak, kepala daerah tersenyum lebar, dan media meliput dengan judul ‘Keberhasilan Pemimpin Visioner’. Namun, dua bulan kemudian, stadion itu mulai retak karena pembangunannya terburu-buru. Apa yang terjadi? Tidak ada. Kepala daerah sudah berpindah ke peresmian proyek berikutnya.

Skenario ini terjadi berulang kali: pembangunan yang dirancang untuk diresmikan, bukan untuk digunakan secara maksimal. Jalan tol yang tidak terhubung dengan akses utama, jembatan yang lebih cocok sebagai monumen daripada infrastruktur fungsional, hingga gedung-gedung kosong yang seharusnya menjadi pusat pelayanan masyarakat. Semua ini hanyalah batu loncatan bagi kepala daerah untuk menambah portofolio seremonialnya.

Lebih parah lagi, beberapa proyek ini bahkan tidak diperlukan. Ada daerah yang lebih butuh perbaikan drainase untuk mengatasi banjir, tetapi justru dibangun tugu megah dengan patung kepala daerah dalam pose heroik. Ada rumah sakit yang masih kekurangan alat medis, tetapi justru dibuatkan area taman rekreasi di sekitarnya agar lebih Instagrammable. Yang penting fotonya bagus, soal manfaatnya bisa dipikirkan nanti.

Bab 4: Evaluasi? Itu Urusan Warga!

Sebuah daerah yang baik bukan diukur dari seberapa sering pemimpinnya hadir di acara seremonial, melainkan dari seberapa efektif kebijakannya. Namun, bagi kepala daerah yang lebih suka menghadiri peresmian, evaluasi adalah sesuatu yang tidak terlalu menarik. Biarkan masyarakat merasakan dampaknya sendiri. Jika ada keluhan, itu artinya mereka kurang bersyukur.

Ketika jalan rusak, warga disuruh ‘bersabar’. Ketika pelayanan kesehatan buruk, mereka diminta ‘lebih mandiri’. Ketika pendidikan terbengkalai, orang tua diminta ‘lebih berperan dalam pembelajaran anak’. Dan ketika kritik mulai berdatangan, kepala daerah kita tetap sibuk dengan agenda peresmian berikutnya, menghindari segala bentuk pertanggungjawaban.

Sebenarnya, ada satu momen yang membuat kepala daerah ini sedikit khawatir: saat mendekati pemilihan kembali. Ketika masa jabatan hampir habis, mendadak ia kembali turun ke lapangan, bertanya kepada warga, dan menyusun program-program instan yang bisa mendongkrak popularitas. Sayangnya, upaya ini seringkali hanya menjadi formalitas, karena pada dasarnya kepemimpinannya lebih berorientasi pada seremonial daripada substansi.

Bab 5: Rakyat yang Terbiasa dengan Simulasi Pembangunan

Ada satu konsekuensi menarik dari model kepemimpinan seperti ini: masyarakat lama-kelamaan menjadi terbiasa dengan pembangunan yang hanya sebatas simbol. Jika selama bertahun-tahun mereka melihat bahwa kepala daerah lebih sibuk memotong pita daripada membangun kebijakan, maka standar mereka pun menyesuaikan.

Maka, ketika seorang kandidat kepala daerah benar-benar serius ingin membangun daerahnya dengan konsep yang matang, ia justru dianggap kurang menarik. “Dia jarang muncul di media,” kata sebagian warga. “Tidak ada acara hiburan saat dia berbicara,” kata yang lain.

Sementara itu, kandidat lain yang lebih sering hadir di acara seremonial dan membawa artis dangdut untuk meramaikan kampanye justru lebih populer. Bagi masyarakat yang terbiasa dengan simulasi pembangunan, pemimpin yang banyak bicara soal data dan strategi malah dianggap membosankan.

Kesimpulan: Negeri Para Pemotong Pita

Jika ada satu hal yang bisa dipelajari dari satire ini, adalah bahwa memimpin bukanlah tentang seberapa sering seseorang tampil di acara seremonial. Pembangunan bukan sekadar proyek yang bisa diresmikan dengan megah, tetapi harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang yang berkelanjutan. Seorang kepala daerah yang baik bukanlah yang paling sering muncul di media, melainkan yang kebijakannya terasa dalam kehidupan sehari-hari warganya.

Namun, hingga kesadaran ini merata, kita mungkin akan terus melihat fenomena ini: kepala daerah yang lebih dikenal sebagai pemotong pita profesional daripada sebagai pemimpin sejati. Dan sementara itu, rakyat tetap menunggu, entah kapan mereka akan dipimpin oleh seseorang yang lebih banyak berpikir daripada berpose.

Posting Komentar

0 Komentar