Menaikan Jabatan Orang Tanpa Melihat Kinerja, Wawancara Teman Kerja atau Atas Modal Kedekatan.

Dalam sebuah kerajaan kecil yang gemerlap oleh lampu-lampu birokrasi, ada sebuah tradisi yang terus lestari: menaikkan pangkat tanpa peduli akan kemampuan. Sebuah sistem yang begitu sakral, dijaga dengan penuh kehati-hatian agar tidak ternodai oleh meritokrasi atau usaha keras. Di negeri ini, kompetensi hanyalah mitos yang sering didongengkan kepada mereka yang masih percaya pada keadilan.

 


Lihatlah bagaimana kursi-kursi empuk di ruang pertemuan diduduki oleh para tokoh yang tersenyum penuh percaya diri, bukan karena mereka telah berkontribusi luar biasa, melainkan karena mereka tahu rahasia utama kesuksesan: membangun relasi. Mereka memahami bahwa naik jabatan bukan soal kecerdasan, inovasi, atau kerja keras, melainkan soal siapa yang mengenal siapa. Bahkan lebih penting lagi, siapa yang mampu menggelitik hati atasan dengan kepatuhan tanpa syarat.

Di negeri ini, ada adagium tak tertulis yang dijunjung tinggi: "Loyalitas lebih utama dari kompetensi." Loyalitas di sini bukan berarti kesetiaan pada tugas atau tanggung jawab, melainkan kesetiaan kepada individu yang memiliki kuasa. Semakin sering seseorang mengiyakan perintah tanpa bertanya, semakin cerah masa depannya. Sebaliknya, mereka yang mencoba bersuara, mempertanyakan keputusan, atau—oh, betapa lancangnya—memberikan gagasan baru, akan menemukan diri mereka terbuang ke sudut-sudut gelap organisasi.

Perjalanan menuju puncak bukanlah soal pencapaian, melainkan soal bagaimana cara tersenyum pada waktu yang tepat, tertawa pada lelucon atasan yang sebenarnya hambar, dan tentu saja, menutup mata pada ketidakadilan yang berlangsung di depan hidung sendiri. Mereka yang ingin menaiki tangga hierarki harus menguasai seni mengangguk penuh penghormatan, bahkan ketika hati kecil mereka berteriak ingin menolak.

Bagi mereka yang masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa kerja keras akan membawa kesuksesan, negeri ini adalah ujian kesabaran. Mereka bekerja lebih keras, berharap bahwa suatu saat seseorang akan melihat dedikasi mereka. Sayangnya, yang dilihat bukanlah prestasi mereka, melainkan apakah mereka cukup "menyenangkan" di mata yang berkuasa. Sebab, dalam sistem yang lebih menghargai kedekatan daripada kapabilitas, usaha dan dedikasi hanyalah hiasan semata.

Lucunya, meskipun sistem ini begitu jelas cacatnya, tetap saja banyak yang bersikeras mempertahankannya. Mereka yang sudah berada di atas takut akan perubahan. Sebab, jika meritokrasi benar-benar diterapkan, bagaimana nasib mereka yang selama ini hanya duduk manis tetapi terus naik jabatan? Bagaimana dengan mereka yang selama ini merasa nyaman di posisi tinggi tanpa pernah diuji kemampuannya?

Di ruang-ruang diskusi formal, mereka mungkin berbicara tentang profesionalisme, akuntabilitas, dan evaluasi berbasis kinerja. Namun, di balik pintu tertutup, keputusan yang diambil sering kali jauh dari kata objektif. Evaluasi hanyalah formalitas, laporan prestasi hanyalah dokumen yang dibuat agar terlihat baik di mata publik. Sebab, keputusan sesungguhnya telah ditentukan sejak awal, sejak seseorang memutuskan siapa yang perlu "diamankan" dalam struktur kekuasaan.

Sementara itu, para pekerja keras yang terus berusaha dengan idealisme tinggi akhirnya berada di persimpangan. Haruskah mereka tetap berjuang dalam sistem yang mengabaikan mereka? Ataukah mereka harus ikut bermain dalam permainan yang mereka benci? Beberapa memilih untuk bertahan dengan harapan suatu hari angin perubahan akan datang, sementara yang lain akhirnya memilih untuk menyerah dan beradaptasi dengan aturan tak tertulis yang telah lama mendominasi.

Namun, satu hal yang pasti, sistem yang bertahan bukanlah yang paling adil, tetapi yang paling lihai dalam menjaga status quo. Selama mereka yang berada di atas lebih memilih kenyamanan daripada perubahan, selama hubungan lebih dihargai daripada prestasi, maka kisah ini akan terus berulang. Dan para pekerja keras hanya bisa menghela napas panjang, bertanya-tanya sampai kapan mereka harus menunggu dunia yang lebih adil tiba.


Posting Komentar

0 Komentar