Kajian Satire: Aneh Jika Memberi Apresiasi Ke Pimpinan

 

Di sebuah kerajaan bernama Meritokrasi Sejati, ada sebuah tradisi yang sangat dijunjung tinggi: memberikan apresiasi kepada pemimpin atas segala pencapaian yang diraih oleh rakyatnya. Sebuah konsep luhur yang, tentu saja, menjadikan para pemimpin di negeri itu sangat termotivasi untuk terus bekerja keras—dalam menerima penghargaan.


 

Di kerajaan itu, setiap akhir tahun, diadakan perayaan akbar untuk memberikan penghargaan kepada orang-orang yang dianggap berjasa. Acara ini disebut dengan Malam Gemilang Kepemimpinan, sebuah perayaan di mana raja akan menyerahkan medali kehormatan kepada para pejabat tinggi yang telah "berhasil" memimpin berbagai proyek besar. Tentu saja, proyek-proyek tersebut dikerjakan oleh rakyat jelata yang setiap hari berpeluh keringat, tapi hal semacam itu tak perlu terlalu diperhatikan.

Suatu hari, di salah satu kementerian yang bertanggung jawab atas pembangunan jalan raya, seorang pekerja bernama Mawan bertanya kepada atasannya, "Pak, apakah kami juga akan mendapat apresiasi atas keberhasilan pembangunan jalan ini?"

Sang atasan tersenyum bijak dan berkata, "Mawan, apresiasi itu seperti cahaya matahari. Ia tidak bisa langsung menerangi seluruh dunia, tetapi mesti dipantulkan dulu oleh bulan agar cahayanya sampai kepada kita semua. Begitu pula dengan penghargaan. Raja memberikan apresiasi kepada kami para pemimpin, dan kami akan menyampaikannya kepada kalian dalam bentuk motivasi untuk terus bekerja. Bukankah motivasi itu lebih berharga daripada sekadar pujian?"

Mawan mengangguk pelan. "Jadi, apakah motivasi itu bisa digunakan untuk membeli makanan bagi keluarga kami?"

"Tentu tidak, Mawan," jawab atasannya dengan tawa renyah. "Tapi motivasi bisa membuatmu bekerja lebih keras agar kau bisa mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan itu."

Di sudut lain kerajaan, seorang ilmuwan bernama Ratna menemukan sebuah teori baru yang bisa meningkatkan produksi pangan secara signifikan. Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dan percobaan, akhirnya ia menemukan solusi yang membuat lahan gersang bisa kembali subur. Ketika temuannya diresmikan, Ratna pun hadir di acara besar kerajaan dengan penuh semangat. Ia membayangkan bahwa hasil kerja kerasnya akan dihargai.

Namun, pada hari pengumuman, Ratna hanya bisa berdiri di belakang saat pejabat tinggi yang bahkan tidak tahu bagaimana cara menanam jagung menerima penghargaan atas "kepemimpinan visioner yang memungkinkan lahirnya inovasi di bidang pertanian." Ratna, yang berdiri di antara kerumunan ilmuwan lainnya, hanya bisa bertepuk tangan. Salah satu koleganya menepuk pundaknya dan berkata, "Setidaknya kita tahu siapa yang sebenarnya bekerja keras."

Ratna tersenyum pahit. "Ya, dan setidaknya kita tahu bahwa yang penting bukanlah siapa yang berusaha, tetapi siapa yang berdiri di panggung ketika usaha itu membuahkan hasil."

Tahun demi tahun berlalu, dan kerajaan itu semakin berkembang. Kota-kota menjadi lebih besar, teknologi semakin maju, dan sistem administrasi semakin kompleks. Namun, satu hal tetap tak berubah: penghargaan tetap diberikan kepada mereka yang memiliki jabatan, bukan kepada mereka yang benar-benar berkarya.

Suatu hari, seorang penyair muda bernama Bram menulis sebuah puisi yang berjudul "Pahlawan Tak Bernama." Dalam puisinya, ia menyoroti bagaimana orang-orang yang benar-benar bekerja keras sering kali dilupakan, sementara mereka yang sekadar duduk di kursi empuk menerima semua penghargaan. Puisinya menjadi populer di kalangan rakyat, tetapi pejabat kerajaan menganggapnya sebagai "kritik yang tidak membangun."

Seorang penasihat kerajaan memanggil Bram dan berkata, "Kami memahami bahwa Anda ingin mengungkapkan kebenaran, tetapi kebenaran itu sendiri adalah sesuatu yang harus disampaikan dengan cara yang bijaksana. Bukankah lebih baik jika Anda menulis puisi yang memuji para pemimpin atas kebijaksanaan mereka dalam membimbing para pekerja keras?"

Bram menghela napas dan menjawab, "Jadi, apakah saya harus menulis puisi tentang matahari yang bersinar karena dirinya sendiri, tanpa menyebut bahwa cahaya itu sebenarnya berasal dari bintang yang lain?"

Penasihat itu tersenyum. "Tepat sekali! Itulah cara terbaik untuk memastikan stabilitas kerajaan."

Maka, Bram pun meninggalkan ruangan itu dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa selama penghargaan hanya diberikan kepada mereka yang duduk di atas singgasana, tak akan ada perubahan nyata di negeri itu. Dan di bawah sinar lampu yang gemerlap dalam Malam Gemilang Kepemimpinan berikutnya, para pekerja keras kembali menyaksikan bagaimana orang-orang yang tak pernah memegang sekop menerima penghargaan atas pembangunan jalan, bagaimana orang yang tak pernah menyentuh tanah menerima penghargaan atas inovasi pertanian, dan bagaimana orang yang tak pernah menulis puisi dianggap sebagai pelindung kebebasan berekspresi.

Di kerajaan itu, penghargaan adalah mata uang yang hanya dapat ditukar dengan jabatan, dan mereka yang bekerja keras hanyalah alat untuk memastikan agar mata uang itu tetap beredar di kalangan elite.

Posting Komentar

0 Komentar