Dalam sebuah lembaga pendidikan yang bernafaskan nilai-nilai keislaman, terdapat sebuah kisah yang menarik untuk kita renungkan. Seorang guru, yang bertahun-tahun telah mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan generasi penerus, tiba-tiba harus beristirahat karena sakit. Namun, di tengah masa pemulihan, yayasan yang menaungi lembaga pendidikan tersebut memutuskan untuk memotong gaji sang guru. Alasannya? Karena beliau tidak hadir untuk mengajar.
Pada titik ini, kita berhenti sejenak dan bertanya: Di manakah letak keadilan yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam? Apakah Islam tidak mengajarkan rahmat dan kasih sayang kepada sesama, terlebih kepada mereka yang telah berjasa dalam menyebarkan ilmu?
Mari kita tengok sejenak ke dalam sejarah Islam, di mana Rasulullah SAW memberikan penghormatan luar biasa kepada para ahli ilmu. Dalam sebuah hadis yang masyhur, Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi." (HR. Abu Dawud).
Bagaimana mungkin seorang pewaris nabi, yang bertugas menuntun umat menuju jalan yang terang, diperlakukan seperti seorang pedagang yang harus menghadapi kerugian apabila tidak berdagang?
Antara Logika Ekonomi dan Kearifan Hati
Barangkali ada yang berpendapat bahwa potongan gaji adalah bagian dari logika ekonomi. "Jika tidak bekerja, maka tidak dibayar," begitu mungkin dalih yang digunakan. Tapi marilah kita berandai-andai, seandainya Rasulullah SAW menerapkan prinsip ini dalam kehidupannya, apakah umat akan merasakan keberkahan yang sama? Rasulullah, yang selalu memaafkan, bahkan kepada mereka yang menzalimi beliau, tentu akan bertindak dengan penuh kasih sayang.
Sang guru, yang setiap harinya membangun karakter dan intelektualitas peserta didik, tiba-tiba harus merasakan ketidakadilan karena kondisi yang tak dapat ia kendalikan. Jika sakit adalah kehendak Allah, maka memotong gaji guru yang sakit seolah-olah menunjukkan bahwa yayasan merasa lebih tahu atas takdir seorang hamba. Apakah ini bukan bentuk perlawanan terhadap qadha dan qadar Allah?
Menimbang dengan Timbangan Syariat
Islam telah memberikan peta jalan dalam hal ini. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Ma'idah: 2).
Bukankah memotong gaji guru yang sakit adalah bentuk dari pelanggaran terhadap prinsip tolong-menolong? Dalam tafsir ayat ini, para ulama sepakat bahwa tolong-menolong dalam kebajikan meliputi semua bentuk dukungan terhadap mereka yang sedang dalam kesulitan, termasuk di antaranya para pekerja dan guru yang terpaksa absen karena alasan kesehatan.
Bahkan dalam fiqh muamalah, terdapat kaidah yang berbunyi:
"Al-ma'syûr ka al-mashrûf."
Artinya, kebiasaan yang sudah berlaku di masyarakat dapat dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan hukum. Apabila dalam sebuah lembaga pendidikan telah menjadi kebiasaan untuk tetap memberikan gaji penuh kepada guru yang sakit, maka memotong gaji tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebiasaan baik yang telah berjalan.
Gaji: Antara Hak dan Amanah
Gaji yang diterima oleh seorang guru bukanlah semata-mata imbalan atas waktu yang dihabiskan di dalam kelas. Ia adalah bentuk penghargaan atas dedikasi, ilmu, dan pengorbanan yang telah diberikan. Guru tidak hanya bekerja ketika berdiri di depan kelas, tetapi juga ketika mempersiapkan bahan ajar, mendoakan siswa-siswinya, dan bahkan ketika memikirkan solusi atas permasalahan yang dihadapi peserta didik.
Maka, jika seorang guru sakit, apakah ilmunya turut beristirahat? Apakah doa dan perhatian yang ia curahkan kepada peserta didik juga berhenti mengalir? Jika tidak, maka bukankah sudah sewajarnya hak mereka tetap diberikan?
Dalam Islam, pekerjaan seorang guru bukanlah sekadar profesi, melainkan sebuah amanah. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila bekerja, ia bekerja dengan itqan (kesungguhan dan profesionalisme)." (HR. Al-Baihaqi).
Lalu, apakah yayasan yang memotong gaji guru yang sakit telah mengamalkan prinsip itqan dalam mengelola amanah mereka?
Ibrah dari Kisah Umar bin Khattab
Sejarah mencatat bahwa di masa kekhalifahan Umar bin Khattab RA, terdapat seorang pegawai yang sakit keras. Umar kemudian tetap memberikan gaji pegawai tersebut secara penuh dan bahkan mengutus orang untuk memastikan kebutuhan keluarganya terpenuhi. Ketika ada yang bertanya, Umar dengan tegas menjawab:
"Dia telah memberikan tenaga dan waktunya ketika sehat. Maka, adalah kewajiban kita untuk menjaga keluarganya ketika dia sakit."
Betapa mulianya akhlak seorang pemimpin seperti Umar bin Khattab. Bandingkan dengan kondisi saat ini, di mana tidak jarang seorang guru yang telah bertahun-tahun mengabdi justru diabaikan ketika sedang mengalami cobaan.
Refleksi: Antara Dunia dan Akhirat
Pada akhirnya, kajian ini mengajak kita semua untuk merenung lebih dalam. Jika kita ingin membangun lembaga pendidikan yang tidak hanya unggul dalam ilmu, tetapi juga dalam moral dan akhlak, maka sudah sepatutnya kita meneladani prinsip-prinsip Islam dalam setiap kebijakan yang diambil.
Memotong gaji guru yang sakit bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal kemanusiaan. Ia adalah cermin dari sejauh mana kita memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita akan terus mengedepankan angka dan keuntungan, ataukah kita akan memilih untuk menjadi lembaga yang berlandaskan kasih sayang dan penghargaan kepada para ahli ilmu?
Semoga kajian ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua bahwa dalam Islam, keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap mereka yang berilmu adalah fondasi yang tidak boleh diabaikan.
0 Komentar