Di sebuah negeri antah berantah, yang terkenal dengan keindahan pantainya dan keramahan penduduknya, ada sebuah rahasia yang dijaga erat-erat. Rahasia ini bukanlah tentang keberadaan harta karun atau ramuan panjang umur, melainkan tentang sebuah praktik yang telah berakar dalam sistem pendidikan: korupsi dalam akreditasi dan Ujian Kompetensi Kejuruan (UKK).
Dalam sistem pendidikan negeri ini, akreditasi adalah semacam mahkota yang dipasang di kepala setiap sekolah. Akreditasi menentukan nasib sekolah: apakah ia akan dipandang sebagai institusi berkualitas, atau hanya sekadar bangunan dengan guru dan siswa yang datang dan pergi. Di sisi lain, UKK adalah ujian pamungkas bagi siswa kejuruan, penentu apakah mereka layak menyandang predikat “siap kerja” atau hanya menjadi angka statistik pengangguran.
Namun, seiring berjalannya waktu, akreditasi dan UKK bukan lagi sekadar proses evaluasi. Ia telah berevolusi menjadi ajang transaksi. Dalam kenyataan yang pahit ini, angka dan sertifikat lebih mudah dibeli daripada diperoleh dengan kerja keras.
Ritual Akreditasi: Antara Formalitas dan Formalin
Setiap lima tahun sekali, sekolah-sekolah sibuk mempersiapkan diri menghadapi tamu penting: tim asesor akreditasi. Mereka datang dengan mata tajam dan daftar panjang indikator yang harus dipenuhi. Ada rasa khawatir yang menggelayuti kepala kepala sekolah. Bukan karena mereka tidak percaya pada kualitas sekolahnya, tetapi karena mereka tahu bahwa kertas kerja lebih penting daripada kenyataan di lapangan.
Ruang guru mendadak berubah menjadi ruang produksi dokumen. Setiap lembaran kertas diatur sedemikian rupa agar tampak sempurna di mata asesor. Jika ada kekurangan fasilitas, solusi paling praktis adalah "meminjam" dari sekolah lain. Laboratorium yang seharusnya penuh dengan peralatan canggih hanya terlihat lengkap saat asesor datang berkunjung. Setelah mereka pergi, laboratorium kembali seperti semula: kosong dan sunyi.
Adapun para asesor, mereka datang bukan hanya dengan pena dan kertas, tetapi dengan ekspektasi terselubung. Konon, di beberapa sekolah, tamu-tamu ini disambut dengan jamuan makan mewah dan amplop berisi “tanda terima kasih.” Bukannya menolak, mereka justru menganggapnya sebagai bagian dari “tradisi” yang tak tertulis.
“Ini hanya bentuk apresiasi,” kata salah seorang kepala sekolah sambil tersenyum tipis, seolah-olah yang baru saja dilakukan bukanlah bagian dari korupsi, melainkan sekadar upaya menjaga hubungan baik.
UKK: Ujian atau Festival Musiman?
Jika akreditasi adalah mahkota sekolah, maka UKK adalah pertarungan terakhir siswa kejuruan. Seharusnya, UKK menjadi ajang pembuktian keterampilan siswa. Namun, di negeri ini, hasil UKK sering kali sudah bisa ditebak jauh sebelum ujian dimulai.
Para siswa sibuk menghafal jawaban dari soal yang entah bagaimana caranya sudah bocor sebelum ujian berlangsung. Guru-guru tak segan memberikan petunjuk selama ujian berlangsung, seakan-akan hasil ujian adalah milik bersama yang harus dijaga.
“Lebih baik mereka lulus semua, daripada sekolah ini tercoreng karena banyak siswa tidak kompeten,” ujar seorang guru dengan nada prihatin, tetapi tangannya tetap lincah membisikkan jawaban.
UKK akhirnya menjadi seperti festival musiman, di mana semua orang berlomba-lomba agar hasilnya terlihat sempurna. Siswa yang tak mampu mengoperasikan mesin tetap mendapat nilai tinggi. Di hari pengumuman, semua tersenyum. Namun, ketika siswa tersebut benar-benar terjun ke dunia kerja, kebingungan melanda. Mereka merasa tertipu oleh sistem yang seharusnya mempersiapkan mereka.
Akibat Jangka Panjang: Generasi yang Pandai Menipu Diri
Korupsi dalam akreditasi dan UKK ini bukanlah sekadar masalah birokrasi, melainkan cerminan budaya. Budaya di mana ketidakjujuran dihalalkan demi sebuah reputasi. Sekolah-sekolah yang lulus dengan nilai sempurna akhirnya melahirkan generasi yang tidak terbiasa menghadapi kenyataan.
Ketika masuk ke dunia kerja, lulusan ini sering kali tidak mampu memenuhi ekspektasi. Mereka terkejut saat mengetahui bahwa di luar tembok sekolah, tidak ada jawaban bocor, tidak ada guru yang membisikkan solusi, dan tidak ada asesor yang bisa disogok.
Pengusaha mulai kehilangan kepercayaan terhadap lulusan sekolah kejuruan. Sertifikat kompetensi hanya dianggap sebagai kertas tanpa makna. Akhirnya, perusahaan lebih memilih merekrut tenaga kerja dari luar negeri yang dianggap lebih kompeten, meninggalkan lulusan lokal dalam lingkaran pengangguran yang tak berujung.
Siklus yang Terus Berputar
Namun, meskipun dampak buruknya terlihat jelas, siklus ini terus berputar. Setiap tahun, akreditasi dan UKK tetap berlangsung dengan skenario yang sama. Semua orang tahu, tetapi semua juga memilih diam.
Pemerintah sesekali melakukan inspeksi mendadak, tetapi hasilnya selalu nihil. Sebab, sebelum inspeksi berlangsung, kabar tersebut sudah bocor. Sekolah punya cukup waktu untuk memperbaiki apa yang terlihat di permukaan, meninggalkan akar masalah tetap tersembunyi.
Beberapa kepala sekolah yang mencoba memberontak dan menjalankan akreditasi serta UKK dengan jujur justru mendapat tekanan. Mereka dianggap “merusak sistem” karena hasil yang kurang memuaskan. “Kalau semua sekolah jujur, siapa yang mau menyekolahkan anaknya di sini?” demikian alasan klasik yang kerap diucapkan.
Harapan yang Tersisa
Namun, di antara kegelapan ini, masih ada secercah harapan. Di beberapa sudut negeri, terdapat sekolah-sekolah yang memilih berjalan di jalur berbeda. Mereka percaya bahwa akreditasi dan UKK bukanlah sekadar angka, melainkan cerminan kualitas yang sesungguhnya.
Meskipun jumlah mereka masih sedikit, sekolah-sekolah ini menjadi mercusuar moralitas. Kepala sekolahnya bersedia menghadapi risiko demi menciptakan generasi yang benar-benar kompeten.
Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, suara-suara kecil ini akan tumbuh menjadi gelombang yang mampu menghancurkan tembok korupsi yang selama ini berdiri kokoh.
Sampai saat itu tiba, negeri ini akan terus menyaksikan ritual akreditasi dan UKK yang lebih mirip dengan pentas sandiwara. Sandiwara di mana aktor dan penonton sama-sama tahu bahwa yang terjadi bukanlah realitas, melainkan sekadar ilusi yang dipertahankan demi reputasi.
0 Komentar