Pernah tidak kalian melihat sebuah tayang lamaran kerjaan dengan batasan maksimal, tapi perusahaan tersebut sering mengeluh generasi Z. Yuk, kita bahas.
Dalam sebuah dunia yang kian canggih, di mana inovasi teknologi seolah tak pernah tidur, ada ironi yang tak lekang dari perhatian: perusahaan modern yang sibuk mengeluh tentang generasi Z. Keluhan itu, bagaimanapun juga, seringkali diwarnai dengan sikap kontradiktif yang memancing senyum pahit. Mereka berbicara tentang kurangnya etos kerja, minimnya loyalitas, hingga kebiasaan menggonta-ganti pekerjaan layaknya memilih menu makan siang. Namun, di saat yang sama, banyak dari perusahaan ini menetapkan syarat pelamar kerja yang begitu ketat, termasuk batas maksimal pengalaman kerja dua tahun. Sebuah paradoks yang layak menjadi sorotan satire.
Di ruang-ruang rapat dengan dinding kaca yang memantulkan bayangan kegelisahan manajer sumber daya manusia, diskusi hangat sering kali berputar di sekitar satu tema utama: Mengapa generasi Z tidak loyal?. Mereka membedah statistik, membaca laporan-laporan yang mengulas tren kerja generasi muda, hingga menyusun strategi untuk "mengikat" karyawan. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, mereka melupakan satu fakta mendasar: kebijakan yang mereka terapkan seringkali justru menciptakan lingkungan kerja yang tidak memungkinkan loyalitas untuk bertumbuh.
Bayangkan skenario berikut. Seorang lulusan baru, sebut saja namanya Fani, melangkah penuh harap ke dunia kerja. Ia baru saja menyelesaikan kuliah dengan predikat cum laude, aktif dalam organisasi mahasiswa, dan memiliki segudang sertifikat pelatihan. Namun, saat mencari pekerjaan, ia dihadapkan pada iklan lowongan yang menyatakan: "Kami mencari kandidat muda yang energik, kreatif, dan inovatif, dengan pengalaman kerja minimal dua tahun." Fani, yang baru saja lulus dan jelas belum memiliki pengalaman kerja, hanya bisa menghela napas.
Namun, Fani bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia mencoba melamar posisi magang, berharap bisa mengumpulkan pengalaman untuk memenuhi syarat yang diminta. Di sini, ia menghadapi tantangan lain. Banyak perusahaan menawarkan magang tanpa gaji atau dengan bayaran yang nyaris tidak mencukupi untuk membeli makan siang selama sebulan. Meski demikian, Fani tetap melakukannya, karena ia yakin ini adalah langkah pertama menuju karier impiannya.
Setelah satu tahun magang, Fani akhirnya mendapatkan pekerjaan pertamanya. Ia bekerja keras, sering lembur tanpa dibayar, dan memberikan lebih dari 100 persen untuk memenuhi target perusahaan. Tetapi, ketika ia ingin mencoba peluang baru setelah dua tahun bekerja, ia kembali dihadapkan pada syarat "maksimal dua tahun pengalaman" di perusahaan lain. Dunia kerja seolah menjadi permainan penuh jebakan, di mana Fani harus terus-menerus berlari tanpa benar-benar tahu ke mana arah tujuannya.
Para manajer senior seringkali membandingkan generasi Z dengan generasi sebelumnya. "Dulu, kami bekerja selama puluhan tahun di satu perusahaan," ujar seorang eksekutif dengan nada bangga. Pernyataan ini, meski sekilas terdengar masuk akal, mengabaikan perubahan mendasar dalam dinamika dunia kerja. Generasi sebelumnya hidup di masa di mana stabilitas kerja adalah norma. Kontrak jangka panjang, kenaikan gaji yang konsisten, dan manfaat pensiun adalah hal yang lumrah. Sementara itu, generasi Z hidup di era di mana pekerjaan sering kali dipandang sebagai kontrak sementara, bukan komitmen seumur hidup.
Alih-alih mengakui perubahan ini, banyak perusahaan memilih untuk menyalahkan generasi muda. Mereka menyebut generasi Z sebagai "terlalu manja," "tidak tahan tekanan," atau "hanya peduli pada uang." Ironisnya, perusahaan-perusahaan ini sering kali tidak menyediakan jalur karier yang jelas, budaya kerja yang sehat, atau insentif yang layak. Mereka meminta loyalitas tanpa memberikan alasan bagi karyawan untuk tetap tinggal.
Ada juga fenomena unik lainnya: perusahaan yang berupaya keras menarik perhatian generasi Z dengan cara yang, jujur saja, terasa canggung. Mereka memasang meja pingpong di ruang istirahat, menyediakan kopi gratis, dan menggunakan jargon kekinian dalam materi promosi mereka. Tetapi, di balik semua itu, mereka tetap menerapkan jam kerja yang panjang, target yang tidak realistis, dan manajemen yang otoriter. Seolah-olah meja pingpong dapat menggantikan kebutuhan dasar seperti gaji yang layak atau lingkungan kerja yang suportif.
Generasi Z juga sering kali distereotipkan sebagai "terlalu bergantung pada teknologi." Namun, bukankah justru perusahaanlah yang pertama kali mendesak karyawan untuk selalu "terhubung"? Surel harus dibalas dalam hitungan menit, pesan di aplikasi kerja harus segera direspons, dan rapat daring bisa dijadwalkan kapan saja, bahkan di luar jam kerja. Ketika generasi Z mencoba menetapkan batasan untuk menjaga keseimbangan hidup, mereka justru dianggap tidak berdedikasi.
Di sisi lain, ada generasi Z yang memilih jalur lain: menjadi pekerja lepas atau memulai bisnis sendiri. Mereka melihat dunia kerja konvensional sebagai sistem yang kaku dan tidak fleksibel. Dengan menjadi wirausahawan atau freelancer, mereka memiliki kontrol lebih besar atas waktu dan karier mereka. Tetapi, pilihan ini pun sering kali dipandang sebelah mata oleh perusahaan yang masih memegang teguh pola pikir tradisional. "Freelancer tidak punya komitmen," ujar seorang manajer dengan nada meremehkan. Padahal, untuk berhasil sebagai freelancer, seseorang membutuhkan disiplin, keterampilan manajemen waktu, dan kemampuan untuk terus belajar.
Mungkin saatnya bagi perusahaan untuk berhenti mengeluh dan mulai bercermin. Jika generasi Z tidak setia, apa yang telah dilakukan perusahaan untuk memenangkan hati mereka? Jika generasi Z dianggap tidak tahan tekanan, apakah lingkungan kerja yang diciptakan sudah cukup suportif? Jika generasi Z sering berpindah pekerjaan, apakah itu karena mereka tidak menemukan alasan yang cukup kuat untuk bertahan?
Sebagai penutup, kisah ini bukanlah tentang mencari siapa yang salah atau benar. Ini adalah ajakan untuk melihat dunia kerja dengan perspektif baru. Generasi Z, dengan segala keunikan mereka, bukanlah ancaman. Mereka adalah generasi yang tumbuh di tengah perubahan besar, yang mencoba menemukan tempat mereka di dunia yang serba cepat. Dan jika perusahaan benar-benar ingin menarik dan mempertahankan talenta muda, mungkin mereka perlu mulai mendengarkan lebih banyak dan mengeluh lebih sedikit.
0 Komentar