NASKAH DRAMA PMR
MPLS 2023
Malam itu, di tengah gulita langit yang hanya diterangi oleh lampu-lampu gedung tinggi bandara, dua tim khusus sedang bergerak dalam senyap. Pasukan Alfa, yang dipimpin oleh Kapten Zaid, dan Pasukan Delta, di bawah komando Kapten Ipin, memiliki satu misi: membebaskan sandera dan menyergap kelompok teroris yang telah menguasai lantai atas gedung.
Dua belas jam berlalu, dan pertempuran sengit pun terjadi. Dentuman senjata dan pekikan perlawanan menggema di lorong-lorong sempit gedung. Pasukan Alfa dan Delta telah berjuang mati-matian, namun strategi yang mereka susun dengan cermat tetap bisa dipatahkan oleh musuh yang begitu licik. Saat matahari mulai merayap ke ufuk timur, mereka akhirnya berhasil mengevakuasi para sandera, tetapi dengan harga yang mahal. Beberapa anggota pasukan gugur, dan beberapa lainnya mengalami luka serius.
Setibanya di markas, pasukan yang tersisa berusaha menghela napas panjang setelah kelelahan yang luar biasa. Namun, bukannya disambut dengan penghargaan atau apresiasi, Kapten Zaid justru menghadapi cemoohan dari Kapten Ipin.
"Kau ini bagaimana, Kapten Zaid? Misi kecil seperti itu saja tidak bisa kau selesaikan dengan sempurna!" ejek Kapten Ipin dengan nada penuh kesombongan.
Kapten Zaid, yang masih dalam keadaan letih dan penuh luka, menundukkan kepalanya sejenak sebelum menjawab, "Maafkan aku, Kapten Ipin. Mereka terlalu licik dan bisa menebak strategi yang kita buat."
Kapten Ipin tertawa sinis, matanya menatap tajam seolah merendahkan, "Itu bukan soal licik atau tidak! Itu karena kau ceroboh, tidak kompeten! Jangan mencari alasan. Jika kau tidak mampu, bilang saja. Lihat pasukanmu! Malang benar mereka, harus dipimpin oleh Kapten yang tak becus sepertimu."
Tangan Kapten Zaid mengepal. Kesabarannya hampir habis. "Cukup, Kapten Ipin! Jika kau terus menghina, maka—"
"Jika tidak apa? Apa yang bisa kau lakukan, hah? Berani kau melawanku?" Kapten Ipin menantangnya dengan penuh kesombongan.
Beberapa anak buah Kapten Ipin pun ikut menyeringai. Salah satu di antaranya melangkah maju dengan tatapan tajam. "Banyak omong kau, anak muda."
Emosi di dalam ruangan itu memuncak. Pasukan Alfa yang tersisa merasakan darah mereka mendidih atas penghinaan yang diterima pemimpin mereka. Tanpa aba-aba, ketegangan itu pecah menjadi perkelahian sengit. Para prajurit dari kedua pasukan saling serang. Tinju melayang, tembakan sporadis terdengar, dan tubuh-tubuh berjatuhan.
Di antara kekacauan itu, Kapten Zaid mendengar pekikan pilu para tentaranya yang terluka. Ia berusaha menghentikan pertikaian, namun dendam dan amarah telah menguasai mereka semua. Senjata kembali terangkat, darah kembali tertumpah. Korban pun terus berjatuhan.
Ketika kesadaran mulai menyusup di tengah kekacauan, Kapten Zaid bergegas meraih radio komunikasinya. Dengan suara serak dan tergesa, ia menghubungi pihak medis.
"Halo... pihak medis! Markas kami sedang terjadi kerusuhan besar! Kami butuh bantuan medis segera! Banyak korban berjatuhan!" suaranya bergetar, penuh dengan penyesalan.
Di sisi lain, seorang prajurit yang masih selamat juga mengambil inisiatif yang sama. "Halo, pihak medis! Markas kami sedang dalam kondisi darurat. Kami membutuhkan tenaga medis secepat mungkin!"
Beberapa menit kemudian, suara sirene ambulans mulai mendekat. Para tenaga medis dari Palang Merah Indonesia (PMI) datang dengan langkah cepat. Mereka tidak peduli siapa yang menjadi lawan atau kawan dalam pertempuran barusan. Dengan seragam putih khas mereka, mereka mulai merawat yang terluka, tanpa membeda-bedakan suku, ras, atau pangkat.
Salah satu petugas PMI berdiri di tengah kekacauan itu dan berseru, "Dengarlah, rekan-rekan semua! Kita di sini bukan untuk berperang, tapi untuk menyelamatkan! Seragamkan bajumu, serempakkan langkah kita! Satukan tujuan untuk menjadi satu ikatan organisasi yang berjiwa relawan! Kami, PMI, tidak akan meninggalkan korban sebelum tugas kami selesai!"
Mendengar itu, beberapa prajurit mulai sadar. Mereka melihat betapa bodohnya mereka bertikai sesama saudara seperjuangan. Perasaan bersalah mulai menyelimuti mereka. Dalam hati, Kapten Zaid merasa menyesal telah membiarkan emosinya meledak. Begitu pula dengan Kapten Ipin, yang kini menyadari bahwa kesombongannya telah membawa bencana bagi timnya sendiri.
Dalam keheningan yang tersisa, mereka membantu satu sama lain, menolong yang terluka, dan menyaksikan bagaimana perang saudara kecil ini seharusnya tidak pernah terjadi. Misi penyelamatan yang semula hanya bertujuan membebaskan sandera, kini berubah menjadi pelajaran besar tentang persatuan dan arti dari menjadi seorang prajurit sejati.
Sebab musuh sesungguhnya bukanlah rekan yang berdiri di sampingmu, melainkan ego dan kesombongan yang bersemayam di dalam diri sendiri.
0 Komentar