Di sebuah negeri yang konon menjunjung tinggi pendidikan sebagai tiang peradaban, ada sebuah ironi yang begitu elegan namun menyakitkan: guru diminta datang tepat waktu, namun haknya tak kunjung tiba tepat waktu. Sebuah paradoks yang tak hanya menjelma sebagai kelucuan hidup para pendidik, tetapi juga menjadi refleksi sistemik dari bagaimana negara ini memandang mereka yang menjadi tonggak awal terbentuknya segala profesi.
Pukul 06.30 pagi, para guru sudah berdiri tegap di gerbang sekolah, menyambut siswa-siswi dengan senyum yang barangkali belum sempat diberi semangat oleh segelas kopi. Mereka datang lebih pagi dari ayam yang bahkan belum sempat berkokok. Namun, di sisi lain, lembar slip gaji yang seharusnya menjadi penyemangat akhir bulan, sering kali baru datang setelah semangat itu habis digerus kebutuhan hidup yang menunggu di antrean.
Ironi ini tentu tidak berhenti pada soal waktu semata. Ia menjelma menjadi sindiran paling halus dari sebuah sistem yang piawai menuntut, namun pelit memberi penghargaan. Datang telat? Ditegur, diberi surat peringatan, bahkan tak jarang dijadikan bahan evaluasi kinerja. Tapi ketika honor atau tunjangan telat? Sistem sedang “bermasalah”, atau ada “proses verifikasi” yang tak pernah selesai. Mesin absensi biometrik bekerja dengan presisi, namun mesin pencairan dana bekerja dengan “hati-hati”—dan kadang-kadang, lupa.
Dalam perbincangan warung kopi, sering terdengar kalimat yang menohok, “Jadi guru itu harus ikhlas.” Kalimat ini tampaknya menjadi mantera pemungkas untuk membungkam segala keluhan. Seakan-akan ikhlas adalah jawaban dari semua bentuk ketidakadilan. Padahal, ikhlas bukan berarti menerima kesewenang-wenangan sebagai takdir. Ikhlas bukan berarti memaafkan sistem yang tak becus menghargai jerih payah.
Jika ada lomba ketepatan waktu antar profesi, barangkali guru adalah juara bertahan. Setiap hari berlomba dengan matahari, mereka sudah tiba sebelum langit sepenuhnya terbuka. Tapi siapa sangka, saat kompetisi gajian dimulai, guru justru menjadi peserta cadangan. Bahkan kadang lupa dicatat panitia.
Di negeri ini, absensi guru dijaga ketat, seolah-olah nasib generasi bangsa bergantung pada menit kehadiran mereka. Datang lewat lima menit? Langsung kena semprit! Tapi gaji yang telat dua minggu? Santai saja, toh guru tetap datang, tetap mengajar, tetap tersenyum meski dalam hati sedang menghitung utang di warung sebelah. Kalau guru berani marah? Langsung disarankan ikut pelatihan "manajemen emosi". Ironis, bukan?
Lucunya, gaji guru tidak hanya telat, kadang datang seperti tamu tak diundang—datang saat sudah tak dibutuhkan, atau datang dengan nominal yang mengundang tanya: “Ini gaji atau uang rokok?” Tapi tentu saja, guru harus tetap bersyukur, karena katanya masih banyak yang tidak digaji sama sekali. Kalimat motivasional yang selalu sukses membuat perut kenyang—dengan angin.
Dan ketika guru bertanya, “Kenapa gaji kami telat?” Jawaban yang muncul biasanya luar biasa kreatif: mulai dari sistem sedang error, rekening kas umum daerah sedang tutup, dana BOS belum cair, sampai alasan paling spiritual—“Mohon bersabar, ini ujian dari Tuhan.” Ujian dari Tuhan? Padahal yang bikin anggaran itu manusia, yang tanda tangan pencairan juga manusia, yang terlambat kerja malah sistem, bukan Tuhan.
Anehnya lagi, ketika ada peringatan Hari Guru, semua pejabat tiba-tiba menjadi penyair. Mereka mendadak puitis, menyusun kata-kata manis yang membuat para guru nyaris meneteskan air mata. Tapi sayangnya, air mata itu bukan karena terharu, melainkan karena teringat bahwa honor bulan lalu belum turun. Seolah-olah puisi bisa membayar listrik dan air. Cobalah datang ke kantor PLN dan bilang, “Pak, saya guru. Ini puisi dari wali kota sebagai jaminan.” Barangkali jawabannya akan jadi puisi juga: “Jika lampu kau ingin terang, bayarlah dengan uang, bukan kenangan.”
Di acara seremonial, guru dijanjikan kenaikan tunjangan, peningkatan kualitas, pelatihan luar negeri, sampai laptop gratis. Tapi begitu acara usai dan semua pulang, yang tersisa hanya janji-janji dan foto selfie para pejabat dengan caption: “Bangga bisa bersama pahlawan tanpa tanda jasa.” Entah kenapa, frasa “tanpa tanda jasa” itu benar-benar diartikan harfiah: tanpa tanda jasa, tanpa kompensasi, dan kadang... tanpa gaji.
Guru dituntut mengikuti perkembangan zaman, harus melek teknologi, wajib menyusun administrasi, menyusun modul ajar, asesmen diagnostik, formatif, sumatif, refleksi pembelajaran, rubrik penilaian, dan segala bentuk dokumen yang jika dikumpulkan bisa dijadikan bahan bakar PLTU. Namun, saat menagih haknya sendiri, sistem mendadak gaptek—tak bisa akses, server down, atau harus menunggu verifikasi dari entah siapa yang tidak pernah nongol di grup WhatsApp.
Kata siapa menjadi guru tidak menyenangkan? Justru penuh kejutan! Hari ini mengajar, besok disuruh jadi pembawa acara. Lusa jadi fotografer. Minggu depan? Jadi tukang bersih ruangan karena OB tidak masuk. Guru adalah profesi paling multitalenta, tapi dengan bayaran satu talenta saja. Bahkan dalam iklan lowongan, tidak pernah ada profesi yang mensyaratkan sebanyak guru: “Harus bisa mendidik, mengasuh, membimbing, menyanyikan lagu anak, bermain sulap, dan tetap sabar meski digaji seperti juru parkir.”
Di negeri para paradoks ini, guru bukan hanya pengajar, tapi juga konselor, pelatih, panitia lomba, penata panggung, MC, hingga tukang tagih SPP. Semua peran dimainkan dengan satu wajah yang harus tetap ceria. Karena kalau guru terlihat murung, nanti siswa tidak semangat. Kalau guru mengeluh, nanti dibilang kurang bersyukur. Dan jika guru marah, dibilang tidak punya jiwa pendidik. Maka satu-satunya yang boleh mengeluh hanya sistem: sistem pembayaran, sistem administrasi, dan sistem pemerintahan yang katanya sedang berbenah, padahal benahnya sejak zaman dinosaurus.
Lucu memang, saat siswa terlambat masuk kelas lima menit, langsung diberikan nasihat panjang lebar soal disiplin. Tapi ketika guru menunggu gaji yang tertunda dua bulan, tidak ada satu pun pejabat yang berdiri di podium memberikan ceramah tentang keadilan. Konsep keteladanan sepertinya hanya berlaku satu arah: dari guru ke siswa, bukan dari sistem ke guru.
Namun anehnya, semua ini diterima sebagai hal biasa. Tak ada demo besar-besaran, tak ada mogok massal. Guru tetap datang ke sekolah, tetap mengajar, tetap menyapa siswa dengan senyum tulus yang entah terbuat dari apa. Mungkin karena guru memang terbuat dari bahan bakar keikhlasan dan idealisme tingkat dewa. Tapi pertanyaannya, sampai kapan?
Karena pada akhirnya, guru juga manusia. Punya kebutuhan, punya keluarga, punya keinginan sederhana untuk dihargai secara adil. Bukan hanya dalam kata-kata, tapi juga dalam angka-angka di rekening mereka. Kalau sistem bisa menuntut guru datang tepat waktu, maka guru pun berhak menuntut sistem untuk membayar tepat waktu. Itu bukan tuntutan yang muluk, itu sekadar keadilan sederhana.
Maka, wahai para pengambil kebijakan yang sering berkata, “Pendidikan adalah investasi masa depan,” ingatlah bahwa investasi tanpa pendanaan hanyalah mimpi di siang bolong. Dan guru, sekeras apapun idealismenya, tidak bisa hidup dari mimpi saja.
0 Komentar